13

89 22 0
                                    

"Hei, siapa kau? Keluarlah! Jangan jadi pengecut!"

Anna berteriak sambil terus mengacungkan senapan ke setiap arah. Matanya tertuju ke sela-sela pepohonan atau punggung bukit. Dimana dia?

Degupan jantung gadis itu begitu kencang. Andai saja ada yang bisa mendengarnya, suaranya pasti terdengar seperti gendang ditalu dengan tempo tinggi. Sungguh suasana yang sanggup merontokan jantungnya. Tapi, Anna adalah gadis perkebunan yang terlatih. Dia bukan anak kota yang terbiasa serba nyaman dengan segala pelayanan dan keadaan di sekitarnya.

Bagi Anna, bukanlah pertama kalinya dia menghadapi seorang penembak misterius yang mencoba menakutinya. Kali ini pun dia tahu jika si penembak bukan semata-mata membunuh seekor musang dari kejauhan. Jika dia pemburu, sudah sepatutnya si penembak segera menghampiri targetnya setelah tahu binatang itu tak lagi bernyawa.

Anna tahu, jika ini ancaman bagi dirinya setelah beberapa saat si penembak tidak juga menampakan diri. Sialan, dia mencoba menakut-nakutiku lagi ...

Si kuda pun ikut merasakan keresahan majikannya. Kaki depan hewan itu tidak bisa diam. Ekornya pun dikibaskan ke kiri dan ke kanan. Untuk beberapa saat si kuda hanya bisa berdiri sambil waspada jika sewaktu-waktu ada musuh yang bisa saja menyerang.

Ah, sebaiknya aku segera pergi! Batin Anna mengatakan jika dirinya harus segera pergi dari tempat itu. Dia tidak ingin terus berlama-lama di situ. Gadis itu berharap tidak ada lagi sesuatu yang bisa menghalangi perjalanannya.

Tuk tak tuk tak ...

Anna pun melecut kudanya untuk segera meneruskan perjalanan. Matanya masih melihat ke segala arah. Mentalnya waspada pada segala kemungkinan. Dia sadar betul jika perjalanannya kali ini bukan sekedar perjalanan biasa. Ada tugas penting yang diembannya untuk segera diselesaikan. Dan, bahaya bisa mengintai kapan saja.

Langkah demi langkah kaki kuda mengantarkan Anna pada banyak tempat. Kampung demi kampung dilalui, desa demi desa dilewati.

Dalam perjalanannya, Anna bertemu dengan para petani yang sedang menggarap sawahnya. Suatu kesempatan, dia menyalip pedati yang mengangkut begitu banyak hasil bumi. Sungguh pemandangan yang berbeda dengan keseharian gadis itu ketika di perkebunan. Di dekat rumahnya, tidak ada sawah apalagi hamparan padi yang masih hijau.

Untuk sesaat, dia mengurangi laju kudanya. Lalu lintas mulai padat dengan kerbau-kerbau yang berjalan beriringan menuju sungai terdekat. Nampaknya mereka akan dimandikan. Tampak di matanya seorang bocah angon yang membawa pecut. Bocah laki-laki bertelanjang dada dengan ikat kepala warna merah di kepalanya.

"Nona, apa kabar?"

Oh, dia menyapaku. Anna heran dengan sikap bocah angon itu. Dia tersenyum memperlihatkan giginya yang berjejer. Apakah dia benar-benar mengenalku, atau sekedar keramahtamahan yang biasa dilakukan anak itu?

"Hei, aku baik. Kau sendiri apa kabarmu?"

"Ah, saya ... kurang baik ... semalam seekor anak kerbau mati, Nona."

"O, kasihan. Semoga kau kembali mendapatkan gantinya."

"Aku harap begitu."

Anna belum bisa melecut kudanya karena kerbau-kerbau itu malah menghalangi jalan. Terpaksa, si kuda harus ikut dalam rombongan kerbau itu.

"Nona, hendak ke manakah Nona?"

"Ee, aku mau ke Batavia."

"Wow, kau sendirian pergi Batavia?"

"Ya, aku pergi sendiri."

"Hati-hati, Nona. Kata bapa saya, di Batavia penuh dengan orang jahat."

"Benarkah?"

"Ya, mereka bisa merampok orang-orang yang berjalan sendirian."

"Kau menakutiku?"

"Oh, tidak Nona. Saya hanya memperingatkan Nona. Saya berharap Nona selamat sampai tujuan."

"Ya, terima kasih kau sudah memperingatkanku."

Anna terus mengikuti rombongan kerbau milik bocah itu. Dia terus bicara banyak hal tentang desa yang dilewatinya. Sebuah desa yang indah, dimana air sungai yang jernih menjadi irigasi bagi sawah-sawah yang menghampar luas.

"Sepertinya kita harus berpisah sampai di sini. Terima kasih sudah menemaniku."

"Sama-sama, Nona. Maaf bila aku terkesan menakutimu. Karena, aku punya alasan untuk memperingatkanmu."

"Apa itu?"

Bocah angon itu mendekati Anna sambil berkata pelan, " Kata bapa saya, perampok itu berasal dari kampung ini. Hanya saja, mereka tidak mengakuinya."

Anna menatap tajam bocah berkulit cokelat gelap di hadapannya. Anak itu hanya tersenyum sambil berdendang di atas punggung seekor kerbau betina. Tubuhnya bergoyang mengikuti gerakan tubuh si kerbau yang mulai menuruni tebing landai menuju sungai.

"Na na na na ...."

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang