11

82 25 1
                                    

Panca menarik tali kekang. Kedua sapi yang menarik pedati pun berhenti. Roda pedati yang berputar otomatis terhenti. Mereka berhenti di pinggir jalan. Tepat di seberang deretan rumah bergaya Indo-Eropa.

Inikah rumahnya? Benak anak remaja itu bertanya-tanya.

Untuk memastikan, Panca turun dari bangku pedati tempatnya duduk. Dia melangkah pelan sambil terus memperhatikan lalu-lintas yang lumayan sibuk di hari itu.

"Hei, minggir!"

Ternyata seorang kusir merasa terganggu ketika Panca menyeberang. Kereta kuda yang melaju kencang bisa saja menjadi oleng ketika ada orang yang menyeberang. Bagi seekor kuda, seseorang yang menghalangi di tengah jalan bisa membuyarkan fokusnya dalam berlari. Akibat terburuknya, kecelakaan bisa saja terjadi. Mungkin alasan itu pula yang membuat seorang kusir marah pada Panca.

"Maaf, Paman!"

Panca berteriak pula untuk sekedar meminta maaf. Suaranya yang keras ternyata mengundang perhatian seorang wanita yang sedang menyiram tanaman. Dengan kebaya melilit tubuhnya, wanita muda itu menghentikan kegiatannya pagi itu. Dia melihat ada seseorang yang berdiri di depan pintu gerbang. Ada tamu datang.

"Ada apa, De'?"

"Assalamu'alaikum!"

"Waalaikumsalam."

"Mau bertemu siapa?"

"Saya mau bertemu Nyonya Van De Meer, adakah di rumah?"

Wanita itu menganggukan kepala. Kemudian dia berjalan dengan langkah tergesa masuk ke rumah.

Panca memperhatikan halaman rumah itu dengan tatapan takjub. Mulai dari dekat tempatnya berdiri, hingga merapat ke dinding dipenuhi dengan deretan pot bunga. Warnanya yang cerah bisa menyejukan mata siapa pun yang melihatnya. Di pekarangan rumah ini, nyaris tidak ada ruang kosong yang tidak ditanami tanaman hias. Mulai dari cocor bebek hingga anggrek; mulai dari talas hingga kembang kertas; ada di sana.

"Hei, kau ... bagaimana ... pesanan saya ada?"

"Ya, saya membawanya di pedati, Nyonya."

"Oh, bawalah ke sini."

"Baik, Nyonya."

"Tunggu, ee ... aku ingin meminta pendapatmu dulu. Pot model apa yang cocok untuk dipasang di sini."

"Di sebelah mana, Nyonya?"

"Di sana?" Nyonya Van De Meer menunjuk salah satu sudut pekarangan.

"Oh, bukankah di sana sudah penuh, Nyonya?"

"Ya, aku tahu. Pekaranganku lebih mirip hutan dibandingkan halaman rumah seorang notaris."

Panca kebingungan ketika melihat sudut halaman itu sudah penuh dengan tanaman. Kebanyakan diantaranya berjenis paku-pakuan, tanaman dari hutan yang tidak memiliki bunga. Jika fungsi tanaman itu untuk menyejukan udara Batavia yang panas, maka tanaman berdaun lebar seperti itu baik ditanam di sana. Namun, nampaknya Nyonya Van De Meer bersikukuh untuk mengganti tanaman-tanaman ala hutan itu.

"Saya ingin mengganti mereka, ya mengganti suasana agar tidak tampak di hutan."

"Iya sih, Nyonya. Di kampung saya, tanaman seperti biasa tumbuh liar di pinggir hutan."

"Kau tahu sendiri itu ... tapi sebenarnya aku suka mereka ... aku suka suasana hutan tropis ...."

"Itu pemandangan di rumah kami tiap hari, Nyonya."

"O, aku membayangkan rumah kalian nyaman. Pemandangannya pasti indah."

"Alhamdulillah, apalagi tidak jauh dari kampung kami ada kebun teh. Pemandangannya seperti melihat karpet hijau yang terhampar di perbukitan."

"O, luar biasa kedengarannya. Ada kebun teh,  tapi kebun teh milik siapa? Perusahaan apa?"

"Itu kebun milik Tuan Eickman, Nyonya."

"Eickman? Jadi kau tinggal di dekat perkebunan Tuan Eickman ya ...."

"Ya, Nyonya. Apakah Nyonya mengenalnya?"

"Ya, saya mengenalnya. Dia salah satu klien suami saya."

"Klien ...?"

"Pelanggan, klien itu pelanggan ... seperti aku berlangganan pot bunga sama kamu, Panca."

Panca tersenyum.

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang