42

71 23 0
                                    

Dalam gelap, Anna membidik penyandera itu dengan penuh kehati-hatian. Gadis itu berjongkok dimana kaki kiri di depan sedangkan kaki kanan terlipat ke belakang. Sebuah sikap seorang pemburu yang siap membidik buruannya. Bersiap juga apabila suatu waktu buruan itu pergi dan melarikan diri.

Di balik gaun tidur berwarna putih, tidak ada yang menyangka jika dia adalah gadis pemburu yang terbiasa melihat mangsa dari jarak jauh. Kali ini, mangsanya tidak terlalu jauh. Bahkan dekat, terlalu dekat. Anna dan objek yang dibidik hanya berjarak tidak lebih dari 8 langkah.

Tangan kiri Anna memegang bagian tengah senapan sebagai tumpuan. Sedangkan tangan kanannya memegang popor senapan sebagai kendali. Jari telunjuknya yang lentik siap menarik pelatuk. Kapanpun diperlukan.

Temaram, sedikit cahaya untuk melihat si penyandera. Tubuh Nyonya  Van De Meer sangat berdekatan dengan penyanderanya. Ketika sedikit sekali cahaya untuk membedakan mana tubuh bidikan dan mana yang bukan bidikan, maka Anna hanya bisa  memicingkan mata.

Di kegelapan, Anna menyembunyikan dirinya dari penglihatan penyandera itu. Lampu kamar yang dimatikan membuat ruangan tempatnya berdiri menjadi gelap, sangat gelap laksana di gua.

"Hei, Nona ... keluarlah! Kau jangan bersembunyi di sana."

Penyandera itu nampaknya mencurigai apa yang dilakukan Anna. Laki-laki bertopeng itu mengarahkan pandangan ke segala penjuru. Di mana gadis itu?

"Cepat keluar, atau ...."

"Atau apa?"

"Aha, akhirnya kau menyahut juga. Cepat keluar!"

"Mengapa aku harus keluar. Bukankah urusanmu dengan Tuan Van De Meer, bukan denganku? Jadi, silakan kau menyelesaikan urusanmu. Dan, tak perlu melibatkan aku dan Nyonya Van De Meer."

Penyandera itu terdiam. Dia menatap si tuan rumah yang tetap berdiri di tempatnya semula.

"Ayo, kita selesaikan urusan kita. Dan, lepaskan istriku."

Penyandera itu menganggukan kepala. Dengan perlahan, dia melepaskan sanderanya.

Nyonya Van De Meer menjauh dari orang tak dikenal itu. Wanita itu berjalan dengan setengah berlari ke arah sudut ruangan. Nalurinya membawa untuk mencari perlindungan.

Si penyandera, kini mengacungkan pisau ke arah Tuan Van De Meer.

Jarak diantara keduanya cukup renggang.

DOR !

"Awww!"

Suara letupan senapan hampir bersamaan dengan teriakan bidikannya. Si penyandera mengibaskan tangannya.  Tangan kanannya berdarah, cipratan darah itu membasahi dinding.

Bidikan Anna ternyata sesuai rencana. Pisau yang dipegang si penyandera terjatuh ke lantai. Prekk!

Tuan Van De Meer ternganga. Pria setengah baya itu kaget. Tak menyangka jika Anna akan nekat menembak orang yang bermaksud jahat di rumah itu.

Begitu pun Nyonya Van De Meer, dia malah merunduk. Semakin ketakutan.  Tubuh wanita itu bergetar, semakin sulit menenangkan diri.

"Tuan, Nyonya ... kalian baik-baik saja?"

Anna berlari ke ruang tengah, masih menenteng senapan.

"Ya, kami baik-baik saja."

"Ke mana orang itu?"

"Dia kabur."

Anna berlari kencang ke arah dapur. Sepertinya penjahat itu kabur lewat jendela. Ketika tiba di ruang dapur, terlihat perempuan sedang meringkuk dengan tangan dan kaki terikat serta mulut disumpal kain.

"Bi, ternyata ... dia mengikat Bibi," Anna menghampiri perempuan berkebaya itu.

Setelah melepaskan ikatannya, Anna langsung berjalan ke arah halaman belakang. Gadis itu menghampiri kudanya. Menaiki punggung si kuda kemudian mengajaknya berlari.

"Hiya!"

Tuk tak tuk tak ...!

Kaki kuda menghentak jalanan. Gaun Anna berkibas-kibas karena angin. Rambutnya yang panjang berkibar diantara tubuh gadis itu yang terus bergoyang.

Aku kehilangan jejak, Anna merasa menyesal karena lambat bertindak.

Sudah cukup lama gadis itu menunggang kudanya. Hingga akhirnya dia pun memperlambat laju kudanya itu. Berharap dia bisa menemukan apa yang sedang dicari.

Deretan gedung dan pertokoan sudah dilewatinya. Jalanan yang becek membuat cipratan kaki kuda mengotori gaunnya yang masih putih bersih. Tanpa alas kaki, gadis itu menginjak sadel yang berhimpitan dengan perut si kuda. Tanpa alas kaki, malas rasanya jika harus turun dan memeriksa setiap jengkal lahan di pemukiman yang sudah padat.

Anna pun mengurungkan niatnya untuk terus menyusuri jalan hingga jauh ke arah utara. Banjir masih menggenangi Batavia, apalagi purnama bisa membuat air laut menjadi pasang. Alhasil, aliran sungai dan kanal-kanal terhambat mengalir ke samudera luas.

Di satu titik Anna menghentikan langkah kaki kudanya. Dia berpikir sejenak, berharap ada petunjuk atau apa pun yang bisa membawanya pada  penjahat itu.

"Hei Nona, sedang apa malam-malam begini?"

Anna menoleh pada sumber suara. Dia heran kenapa harus selalu bertemu orang itu. Kenapa dia ada lagi sih?

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang