73

69 21 0
                                    

Beberapa hari berlalu ...

Panca dan Pratiwi sulit untuk menyimpan rahasia ini terlalu lama. Mereka berdua belum bercerita pada anggota keluarga yang lain tentang kelakuan Raden Aditama. Sulit untuk menerima kenyataan jika salah seorang anggota keluarga terpandang di desa Pujasari adalah seorang pencuri.

"Kalau aku bisa menyimpan rahasia ini sampai mati," Panca berjanji di depan saudari sepupunya.

"Entahlah, aku tidak seperti itu."

"Aku paham. Wanita tidak bisa menyimpan rahasia terlalu lama."

Pratiwi tersenyum kecut.

Rindangnya pohon ketapang menemani obrolan 2 remaja itu. Sore hari yang tenang menjadi waktu yang tepat untuk melepas penat. Jika hari-hari sebelumnya hujan sering mengguyur, khusus sore itu matahari bersinar terang. Cerah.

Cakrawala tampak jelas di pelupuk mata. Burung-burung pun beterbangan dengan lincahnya. Mereka enggan hinggap di dahan walau hanya sebentar. Sore itu terlalu indah jika dilewatkan begitu saja.

"Pratiwi, lihatlah rumpun bambu di sana."

"Ya, mereka nampak serempak bertumbuh. Daunnya hijau menyejukan."

"Kata orang, satu rumpun bambu itu ... tidak lurus semua."

Pratiwi paham apa yang dimaksud oleh Panca. Kalimat yang dilontarkan saudara sepupunya mengacu pada sebuah peribahasa. Maksudnya, jika  dalam satu keluarga yang dikenal baik-baik ada saja seorang anggota keluarga yang berperilaku buruk.

"Panca, apakah menurutmu aku harus menemui Anna untuk meminta maaf?"

Pratiwi bertanya pada Panca, tetapi orang yang ditanya tidak menjawab. Panca hanya memandang lurus ke depan. Seperti biasa, anak lelaki itu sulit bicara ketika diajak berpikir sesuatu yang pelik.

Hanya burung pipit yang menjawab pertanyaan Pratiwi. Suara yang terdengar merdu begitu dekat. Cit cit cuit, si burung bertengger di ranting kemudian terbang ke hadapan Pratiwi. Gadis itu tersenyum kala si burung mendekat. Nampaknya seekor burung lebih mengerti perasaanku.

"Bagiku, apa yang dilakukan Paman Aditama bukanlah sesuatu yang mengherankan."

"Maksudmu?"

"... Paman Aditama adalah orang berpengaruh di Batavia. Aku pun merasakan itu. Dia begitu disegani diantara warga pribumi."

"Karena ayahku seorang priyayi?"

"Bukan hanya itu, sepertinya Paman Aditama terlibat dalam sebuah kehidupan yang serba rahasia. Sebuah gerakan bawah tanah. Entah apa tujuannya."

"Kau seperti Anna, pintar menduga-duga."

"Pratiwi, ketika pertama kali aku datang ke Batavia untuk berdagang ... Paman Aditama memperkenalkanku pada banyak orang. Kau tahu, banyak diantara mereka adalah orang-orang dengan pekerjaan yang tidak jelas. Mungkin sekali mereka kawanan perampok atau semacamnya."

"Untuk apa kau dikenalkan dengan mereka?"

"Perlindungan. Supaya aku tidak disakiti oleh mereka."

"Dan kau aman?"

"Ya, selama ini ... justru mereka yang takut padaku. Padahal aku tidak melakukan apa-apa."

"Pantas kau kenal dengan komplotan perampok di Kampung Nelayan."

"Ya, kampung itu hanya penyamaran. Kampung itu bukan kampung para nelayan, tapi tempat para perampok berkumpul. Markas mereka."

"Itu pula alasan mereka menutup wajah ketika menyerang kau dan Anna?"

"Mungkin sekali. Mereka adalah orang-orang yang kukenal. Mungkin sekali setiap hari berpapasan di jalan atau bertemu di rumah makan milik keluarga A Ling."

"Sayang, aku tidak bisa mengulik banyak informasi. Sampai saat ini ayahku belum pulang."

"Dia punya alasan untuk tidak segera pulang."

"Ya, mungkin sekali lukanya belum sembuh."

Panca menghirup udara segar. Anak remaja itu bangkit berdiri. Menatap cakrawala.

"Aku hanya penasaran, kenapa Paman Aditama bekerja sendirian?" Panca mempertanyakan sesuatu yang menarik hatinya.

"Mungkin ... ayahku dianggap lebih sanggup mengerjakan pekerjaan sesulit itu."

"Sulit?"

"Ya, kau pikir mencuri di Bank Batavia adalah perkara gampang?"

"Mencuri di rumah Tuan Eickman juga sungguh hal sulit. Penjagaannya ketat."

"Hanya ayahku yang sanggup melakukan itu. Menembus pertahanan penjaga, tanpa melukai."

"Tapi, untuk apa Paman Aditama mencuri sehelai surat tanah?"

"Untuk menguasai tanahnya?"

"Itu bukan perkara mudah. Harus melibatkan pegawai Pemerintah untuk mengubah nama pemiliknya."

Pratiwi menatap Panca dengan tatapan aneh. Kedua mata gadis itu melotot sehingga hampir bulat terlihat.

"Apa? Ada apa, Pratiwi?"

"Aku merasa ayah Aditama ... hanyalah wayang ...."

"Ada dalang di belakangnya?"

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang