Dari balik kerumunan, muncullah orang yang sangat dikenal oleh Anna. Tubuhnya tidak terlalu kurus juga tidak gemuk. Badannya juga tidak tinggi juga tidak pendek, sedang saja untuk ukuran seusianya. Dia memakai baju hitam, celana hitam dan ikat kepala warna gading kecokelatan motif batik.
"Raden, perempuan itu membuat kekacauan," seorang pedagang memberikan keterangan meskipun tidak ada yang bertanya.
"Dia menembak teman kita, Raden."
Anna menatap tajam orang yang baru saja datang. Dengan senapan di tangan serta kaki-kaki siap menerjang, Anna masih sulit percaya dengan apa yang dilihatnya. Orang itu bisa menghentikan perkelahian. Padahal, sosok di hadapannya bukanlah orang tua yang terlihat berwibawa apalagi terkesan berkuasa.
"Nona, tolong hentikan ini. Kita bisa bicarakan ini baik-baik."
"Tidak, aku tidak ingin bicara dengan orang-orang seperti kalian."
"Nona Anna, saya tidak tahu apa masalahmu sehingga kau begitu marah kepada kami. Tetapi, bukankah setiap masalah ada penyelesaiannya?"
Anna merasakan hal campur aduk. Dia masih marah pada orang-orang yang menyerangnya. Ditambah, orang yang kini bicara padanya malah membela orang-orang itu.
"Saya tidak mencuri, Raden. Nona ini salah sangka," si kakek yang tertuduh mulai berani bicara.
"Mencuri apa, Aki?"
"Nona ini menuduh saya mencuri barang miliknya. Padahal saya tidak melakukan apa yang dituduhkan."
Orang yang dipanggil "raden" itu menatap tajam Anna. Diantara mereka tidak terlontar kalimat dari mulut masing-masing. Mereka berdua saling bertanya dalam hatinya. Ada apa ini sebenarnya?
"Nona, bagaimana bisa kau menuduh kakek ini pencuri?"
Anna tidak mau menjawab pertanyaan orang di hadapannya. Dadanya kembang kempis, dia bernafas demi menghirup udara segar. Otaknya sudah tidak sanggup berpikir jernih, amarahlah yang lebih menguasai dirinya. Anna merasa terpojok. Juga merasa malu karena tidak memiliki bukti atas tuduhannya. Ditambah, dia marah karena orang yang semalam menolongnya kini sama-sama memojokan dirinya.
"Panca, aku tidak menyangka jika kau berkomplot dengan mereka!"
"Berkomplot? Mereka saudara-saudara saya. Kami sama-sama pedagang. Jadi ...."
Anna semakin marah sekaligus kecewa pada Panca. Anna tidak menyangka jika Panca justru berpihak pada orang-orang yang bermaksud melukainya. Anna melangkah mundur. Dia mengalungkan senapan ke pundaknya. Langkahnya tergesa kemudian naik ke atas pelana kuda.
"Hei Nona, Nona Anna. Tunggu dulu!"
Panca melangkahkan kaki kemudian berlari. Untung saja si kuda tidak segera berlari kencang karena terhalang oleh kerumunan warga yang menonton perkelahian. Anna ingin sekali segera meninggalkan tempat itu, tetapi Panca sigap memegang tali kekang. Laju si kuda pun seketika terhenti.
"Lepaskan! Lepaskan!"
"Hei, kenapa denganmu? Apa maksudmu kalau aku berkomplot?"
Panca dan Anna seperti sepasang kekasih yang sedang bertengkar karena masalah perbedaan paham. Si gadis enggan mengatakan apa yang ada dalam pikirannya, dan si perjaka hanya bisa merajuk untuk meminta penjelasan.
"Panca, coba jelaskan padaku ... kenapa kau bisa menghentikan perkelahian ... apakah kau pemimpin dari komplotan itu?"
"Ya, karena mereka menghargai saya."
"Bukan hanya barusan, Panca. Semalam, sudah 2 kali kau bisa menghentikan perkelahian."
"Karena mereka tahu jika saya anaknya Raden Bakti dari Desa Pujasari. Mereka masih menghargai saya sebagai keturunan bangsawan."
"Tidak, aku tidak percaya itu. Aku curiga kau pemimpin komplotan perampok yang semalam menghampiriku."
"Bagaimana bisa kau berpikir begitu?"
"Kau memanfaatkan gelar kebangsawananmu untuk mengumpulkan banyak orang, kemudian merampok orang Eropa seperti aku ...."
"Oh kau ini hanya mengarang, Nona. Bagaimana bisa orang sepertiku ... aku masih terlalu muda untuk itu ... lagipula bagaimana kau membuktikan tuduhanmu."
Anna terdiam. Dia tahu jika sulit membuktikan tuduhannya.
"Pencuri itu berhasil membawa barang berharga yang disimpan di kamar ayahku. Cara kerja si pencuri begitu rapih. Panca, kalau bukan kau ... siapa lagi orang yang tahu seluk-beluk rumahku?"
Panca serasa disambar geledek. Dia tidak menyangka jika Anna bisa berpikir sejauh itu. Menuduhnya sebagai pencuri.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
ActionAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...