"Nona, pengetahuanmu begitu luas. Sampai-sampai kau bisa memahami cara berpikir kami, orang pribumi."
"Buat kami orang Eropa, pengetahuan adalah panglima."
"Pengetahuan adalah panglima. Sesuatu yang menarik."
"Pernah kau menyangka jika pengetahuan itu lebih berharga dibandingkan emas."
Panca mulai merasa pusing ketika diajak membicarakan hal-hal serius. Jangankan harus berpikir mendalam sebagaimana Anna, perihal membaca pun Panca masih terbata-bata. Tapi itu masih mending, karena orang pribumi tidak diperkenankan mengenyam bangku sekolah kecuali anak priyayi.
"Untungnya kau membicarakan ini saat cuaca sedang cerah dan angin bertiup sepoi-sepoi. Setidaknya kepalaku tidak merasa pusing ketika kau mengajakku bicara hal-hal besar."
"Oh, itu bukan hal besar, Panca. Apa yang kubicarakan adalah hal mendasar."
Panca memandang ke arah cakrawala. Langit biru di atas gedung-gedung tinggi di Ibu Kota seakan memberitahu anak remaja itu jika bangsa Eropa membangun peradaban yang sebelumnya tidak pernah ada di sana.
"Panca, sebenarnya kau akan membawaku ke mana?"
"Seperti yang kau katakan, pengetahuan adalah panglima."
"Maksudnya?"
"Aku yang lebih tahu banyak tentang Batavia. Maka aku jadi panglima kali ini."
"Ya ya ya ... dan aku prajuritnya."
"Tidak, kau wakil panglima."
"Ah, sama saja."
"Maksudku, kau harus sudi untuk mengikutiku ... tanpa perlu banyak bertanya."
"Ah, memangnya kau tahu apa sebenarnya yang ingin kucari?"
"Tentu saja. Seorang pria dengan tangan terluka karena terkena tembakan. Iya kan?"
Anna tersenyum. Dengan senyuman itu setidaknya Panca tahu jika gadis Eropa di depannya setuju dengan peraturan yang dia miliki.
"Kalau aku tidak menurutimu?" Anna berusaha mempertegas aturan permainan.
"Kau kupersilahkan untuk angkat kaki dari sini ...."
Panca tertawa lepas sambil mengibaskan tali kekang. Si kuda berlari lebih kencang menyusuri jalanan ibu kota. Kuda-kuda itu berlari diantara deretan gedung-gedung dan kanal-kanal yang saling bersilang antara satu saluran dengan saluran yang lain.
Wajah-wajah cerah penduduknya disemangati oleh cerahnya langit dan kicauan burung yang beterbangan. Burung-burung gereja hingga burung perkutut masih terbang bebas diantara sela-sela gedung dan pepohonan yang tumbuh subur di pinggir kanal.
Anna mengikuti Panca, memacu Si Jantan untuk berlari mengejar kuda di depannya. Gadis itu awalnya berpikir jika dia akan dibawa ke tempat-tempat yang padat dengan rumah-rumah penduduk. Tetapi, lama-kelamaan jalan yang dilalui menuju tempat yang lebih jarang penduduknya.
***
Cukup lama mereka berkuda, semakin lama mereka pun meninggalkan Batavia yang penuh dengan hiruk pikuknya. Kini, di kiri dan kanan jalan lebih banyak pohon yang tumbuh tidak beraturan.
Ada pohon-pohon kelapa yang tumbuh menjulang tinggi. Diantara pohon-pohon itu hanya tersisa sedikit celah untuk cahaya matahari menyentuh tanah. Cahaya matahari terhalang oleh rimbunnya dedaunan.
"Panca, kita mau ke mana? Ke hutan?"
Ketika Anna bertanya, Panca tidak serta merta memberikan jawaban. Anak lelaki itu lebih memilih menghentikan laju kudanya.
"Hue ...."
"Kita turun di sini," Panca memberikan arahan pada Anna yang semakin terlihat kebingungan.
"Lalu? Kita berjalan? Ke mana?"
"Kita ke sana. Menyusuri jalan setapak."
"Kau yakin jika orang yang kita cari ada di sekitar sini?"
"Dulu, pamanku pernah mengajakku ke sini."
"Memangnya ... ini tempat apa?"
"Di sini tempat ... berkumpulnya para nelayan."
"Nelayan? Kenapa aku diajak ke kampung nelayan?"
Panca berbalik badan kemudian menatap Anna, "ingat peraturannya ... kau wakil panglima."
"Ya aku tahu, aku tidak boleh banyak bertanya. Tapi, wakil panglima pun perlu tahu apa rencana panglimanya."
"Nona Anna, bukankah semalam kau mencari orang dengan luka tembak di tangan?"
Anna menganggukan kepala, "kau mengenalnya?"
"Ya, dia juga orang yang kutemui di rumah makan keluarga A Ling. Semalam aku bertemu orang yang sama di pinggir kanal beberapa saat sebelum kau pun tiba sambil membawa senapan."
Anna menganggukan kepala lagi.
"Kau yang menembaknya kan?"
"Iya. Dan, hubungannya dengan tempat ini?"
"Orang itu ... seorang nelayan."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
ActionAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...