"Ah, akhirnya dia pergi."
Panca merasa lega ketika ular sanca yang berjemur di titian kini pergi. Tubuhnya yang besar meliuk-liuk diantara paku-pakuan yang menghijau. Kepalanya tenggelam ke dalam sungai kemudian diikuti oleh badannya yang terlihat membesar.
Anna mengangkat tubuhnya dari batang pohon yang membujur diantara pohon yang masih tumbuh. Gadis itu membuang nafas, melepaskan ketegangan dan kejemuan. "Huhhh ...."
Anjing-anjing yang menyalak di seberang sungai pun berhenti menyalak. Bulunya yang cokelat dengan garis hitam di kepala hingga ekor terlihat mengkilat terkena sinar matahari yang masuk ke sela pepohonan.
"Terima kasih, Paman!"
"Sama-sama!"
Panca dan si empunya anjing kembar saling sahut. Mereka saling melambaikan tangan. Tangan yang terbalut oleh kain putih; yang kini memerah karena darah.
Anna berjalan mengikuti Panca menyusuri titian yang membentang di atas sungai. Mereka berdua berjalan dengan langkah tertatih. Hati-hati. Lumut berwarna hijau menyelimuti titian itu. Titik-titik embun di atasnya masih terlihat memantulkan cahaya matahari.
"Hati-hati, jalannya licin!"
Tidak membutuhkan waktu lama untuk sampai di ujung titian. Panca dan Anna disambut oleh 2 anjing yang mengibaskan ekornya.
"Hei, kalian apa kabarnya?"
"Kalian sudah saling mengenal?" Anna heran dengan sikap kedua anjing itu yang ramah pada Panca.
"Tidak juga. Tapi mereka anjing yang tahu mana yang layak mereka percayai. Binatang memang lebih jujur dibanding manusia."
Ah, dia menyindirku lagi. Anna tidak enak hati mendengar kalimat dari temannya.
Panca melemparkan senyuman pada si empunya anjing. Senyuman yang dibalas dengan hangat.
"Mereka marah karena saudaranya dimakan ular itu."
"Jadi sebenarnya anjing kembar tiga."
"Ya, tempo hari ular itu datang ke pekarangan dan mereka berkelahi. Sayang, ular itu lebih kuat dibanding anjing."
"Berarti, perutnya yang besar karena ...."
Si empunya anjing menganggukan kepala. Wajahnya nampak bersedih. Begitu juga kedua anjing itu, suaranya terdengar menyedihkan, "ukkk ...."
"Kalau boleh tahu, ada apa gerangan Raden datang ke tempat terpencil seperti ini?"
"Saya ingin menemui, Paman."
"O, saya merasa terhormat didatangi oleh kalian berdua."
Panca tersenyum. Anna malah membuang muka, gadis itu sulit menyembunyikan isi hatinya.
"Nona, anda baik-baik saja?" lelaki bercaping di depannya mengetahui ketidaknyamanan gadis itu.
"Eee, saya baik-baik saja."
Anna mengangkat alis kemudian tersenyum mengangkat otot-otot di pipinya dengan terpaksa. Kedua tangan gadis itu ditekuk ke belakang. Senapan menggantung di pundak, dielus-elus seakan tangannya gatal ingin menarik pelatuknya.
"Mari ke rumah saya!"
Mereka yang bertemu di jalan setapak kini berjalan beriringan. Menyusuri jalan setapak yang melebar tetapi lebih banyak dedaunan yang jatuh berserakan. Daun-daun bambu yang jatuh satu per satu tertiup angin.
"Oh, ternyata di sini ada kebun bambu ya." Anna bertanya demi membangun keakraban.
"Ya, kami sengaja menanam bambu untuk kebutuhan sehari-hari."
"Kebutuhan apa, Paman?"
"Memasang jaring di laut, bahan untuk memperbaiki rumah juga."
"Menyembunyikan senjata, bisa?"
Pria bercaping berbalik badan. Merasa aneh dengan pertanyaan si gadis berambut pirang.
"Bisa juga."
Panca menatap Anna kemudian mengedipkan mata. Hei, sesuai kesepakatan kita. Jangan banyak bertanya hal yang menyudutkan dia.
"Raden, sudah lama juga tidak berkunjung ke sini," pria bercaping itu mengingat-ingat masa lalu, "waktu itu Raden Aditama datang ke sini. Sekarang, Raden datang bersama ...."
"Saya Anna."
"Saya kenal Nona. Waktu itu saya melihat Nona berkelahi di pasar."
"O, ternyata saya terkenal juga. Paman sendiri ...?"
"Panggil saya Wira."
"Baiklah, Paman Wira. Sudah lama kalian saling kenal?"
"Semenjak Raden Panca bersama pamannya datang ke sini."
"Paman sendiri ada hubungan apa dengan Paman Aditama?"
"Saya hanya anak buah Raden Aditama."
"Bekerja sebagai ...."
Wira merasa ada yang aneh dengan pertanyaan Anna yang bertubi-tubi. Aku seperti sedang diselidiki. Tapi Wira mencoba bersikap tenang agar kedua remaja di belakangnya tidak bertambah bertanya hal-hal yang tidak ingin dia katakan.
"Saya hanya nelayan, Nona. Tentu saja ada pekerjaan sampingan misalnya mengangkut barang dari pelabuhan. Alhamdulillah, sampan masih bisa menghasilkan uang walaupun tangkapan ikan tidak terlalu banyak."
Anna menganggukan kepala. Bukan tanda mengerti tetapi hanya memberi kesan jika gadis itu bermaksud sopan.
"Nah, ini rumah kami. Lebih tepatnya gubuk." Wira menunjukan rumah berdinding bambu dan beratap rumbia.
Rumah itu menghadap ke laut lepas. Hanya terhalang oleh beberapa batang pohon kelapa. Tidak jauh dari sana, teronggok sebuah sampan lengkap dengan dayung. Sampan tua yang tidak memiliki warna selain warna kecokelatan alami dari kayu.
"Silakan duduk, Raden ... Nona."
"Terima kasih, Paman."
Angin laut berhembus menerpa wajah. Keringat yang bercucuran sedikit berkurang karena tersapu angin. Begitupula dedaunan yang menghiasi pekarangan, melambai-lambai seakan menyambut kedatangan kedua tamu itu.
Sang tuan rumah melipir ke dapur untuk membawa jamuan. Sedangkan Panca dan Anna duduk di dipan sambil menikmati pemandangan.
"Panca, setelah ini apa lagi? Bagaimana kita bisa mengorek informasi dari orang ini?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
AcciónAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...