58

62 19 0
                                    

"Arghh!"

Seorang lelaki yang melayangkan goloknya ke arah kepala Panca tiba-tiba saja berteriak, kesakitan. Dadanya memuncratkan darah. Dia tertembak. Tertembak oleh siapa? Siapa orang yang menghembuskan peluru dari senapan?

Tidak seorang pun yang tahu. Penembak itu bersembunyi, entah di mana.

Ketika perhatian terpecah, Panca meraih tangan Anna. Anak remaja itu bermaksud mengajak temannya untuk berlari, kabur. Tetapi, petaka malah terjadi.

"Mau ke mana kau?!"

Seseorang diantara para pria bertopeng sehelai kain itu menghadang kaki kanan Panca. Kaki kanan orang itu ukurannya lebih besar dari kaki kecil seorang remaja. Panca kalah dalam hal tenaga. Anak remaja itu terjatuh. Piunggg ... Blugg ... !

Si penyerang tidak mau menyia-nyiakan kesempatan. Dia melayangkan sabetan golok ke arah kaki Panca. Dia berharap anak itu lumpuh dan tidak bisa berlari lagi.

Takkk !

Anna menahan sabetan golok dengan gagang senapan sehingga kedua benda itu saling beradu. Meskipun dalam keadaan terbaring, Panca melayangkan dayung yang sedang dipegangnya ke arah kepala si penyerang. Traakk !

Darah menetes dari sela-sela rambut si penyerang. Dia terhuyung ke belakang. Dan, Anna pun menjadikan itu sebagai kesempatan untuk menyerang sambil melayangkan pukulan ke wajah pria bertubuh tinggi yang sedang limpung. Creet! Hidungnya terdengar memuncratkan sesuatu, pasti darah. Hanya saja itu tidak terlihat karena tertutup oleh sehelai kain hitam.

...

Lagi, Anna dan Panca diserang dari berbagai penjuru mata angin. Mereka terkepung.

Kali ini Panca punya senjata yang cukup untuk menampik serangan. Dengan dayung di tangan, Panca bisa menyerang lawan dari jarak yang aman tanpa memberi penyerangnya untuk menyerang balik. Begitu juga Anna, senapan yang dipegang cukup untuk menahan serangan.

"Menyerahlah!"

"Tidak!" Anna berteriak keras. Menolak menyerah. Gadis itu malah mencabut benda tajam dari balik bajunya. Sangkur.

Kini, senapan di tangan Anna dilengkapi dengan sangkur di ujungnya. Begitulah fungsi senapan ketika tidak diisi peluru, bisa dijadikan alat untuk menusuk dada siapa saja yang berani menyerang pemegangnya.

Panca tersenyum sinis pada orang-orang yang mengepungnya. Wajah mereka sulit diterka air mukanya, tetapi langkah kaki mereka yang maju mundur menandakan jika nyali mereka mulai ciut. Hei, kau jangan menyepelekan kami berdua!

"Hei, serang mereka! Kenapa kalian jadi ragu!" Wira berteriak kesal karena orang suruhannya terlihat ragu untuk menyerang 2 remaja yang kini bersenjata.

Ketika sang pemimpin mulai terdengar marah-marah maka komplotan pria bertopeng itu terpaksa menambah keberaniannya. Mereka melangkah dengan kaki-kaki mereka langsung menuju ke jantung pertahanan sepasang remaja itu. Meskipun mereka memiliki senjata lebih panjang tetapi komplotan itu punya cara untuk menyerang bergantian.

Satu serangan sebagai umpan. Kemudian disusul oleh serangan lain ketika lawannya kehilangan fokus perhatian.

Ada sesuatu yang tidak dipikirkan oleh Panca dan Anna jika komplotan yang sedang bernafsu untuk menghabisi nyawa mereka terdiri dari laki-laki dengan berbagai keahlian. Diantara penyerang itu ada seorang pria yang bertubuh besar dan memiliki tenaga yang besar pula. Ada juga seorang laki-laki bertubuh kecil, hampir sama dengan seorang remaja seperti Panca. Tetapi, dia memiliki keahlian melempar benda yang bisa melumpuhkan orang yang diserangnya.

Piungg!

Sebutir batu berukuran sebesar kepalan tangan melayang ke kepala. Panca tidak menyadari benda yang  terbang ke kepalanya.

Dug!

Batu pun mendarat ke kepala Panca. Dia kesakitan, "Argh!"

Panca limpung.

Tubuh anak itu rubuh. Anna kaget dengan apa yang terjadi pada temannya. Panca tak sadarkan diri. Pingsan.

"Panca, bangun!"

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang