8

103 27 0
                                    

"Sebaiknya kita segera mengurus surat tanah itu. Hari ini juga Ayah akan ke Batavia untuk menemui notaris."

"Ayah masih luka, sebaiknya tunggu sampai sembuh terlebih dahulu."

"Anna, Ayahmu ini tidak bisa menunggu waktu lebih lama lagi."

"Mengapa harus terburu-buru, Ayah?"

"Hhh ...," Tuan Eickman menarik nafas panjang, "Ayah khawatir jika sesuatu yang lebih parah terjadi."

Anna menatap ayahnya dengan penuh pertanyaan. Dalam pikiran gadis itu, terlintas kekhawatiran jika kejadian semalam bukanlah kejadian terakhir. Mungkin kali ini menjadi awal dari kemelut yang lebih besar.

Kini, matahari pagi mulai bersinar. Anna bisa melihat cahayanya masuk ke sela-sela jendela. Kemudian menyinari tubuh gadis itu dan dia pun bisa merasakan kehangatannya. Kini dia berdiri di dekat jendela, suatu kebiasaan yang dilakukannya setiap pagi. Kamar yang gelap pun berubah menjadi lebih terang. Tergambar jika dindingnya yang cenderung kelam sedikit menjadi lebih cerah.

Hanya di pagi hari kamar Tuan Eickman menjadi lebih terang. Kamar yang dulunya digunakan untuk berdua, kini hanya lelaki itu sendiri yang tidur di sana. Setelah istrinya meninggal, waktu sepagi itu kamar tidurnya tidak serta merta menjadi lebih rapih. Tidak ada wanita yang membantu merapikan tempat tidurnya. Hanya Anna yang diperbolehkan masuk ke ruangan itu. Satu-satunya ruangan yang tidak boleh dimasuki oleh orang lain selain ayah dan anak itu.

"Aku pikir, tidak akan ada lagi orang yang berani mengganggu kita" Anna mengeluhkan keadaan yang tidak berpihak padanya.

"Ayah juga berpikir seperti itu."

"Memangnya, jika surat tanah itu tidak ada di tangan kita ...."

"Semua yang kau lihat ini ...."

"Maksud Ayah, perkebunan ....?"

"Perkebunan ini bisa jatuh ke tangan orang lain."

"Tapi, kan jelas ada catatan di Pemerintah jika ini adalah milik Ayah."

"Awalnya Ayah juga berpikir begitu. Mudah bagi kita untuk kembali mengganti surat tanah yang hilang. Tapi, Ayah mulai curiga jika kejadian semalam adalah puncak dari kejadian-kejadian sebelumnya."

"Apakah Ayah berpikir jika ada pihak yang berusaha untuk merebut tanah ini. Siapa?"

Tuan Eickman menggelengkan kepala.  Sebenarnya dia menaruh kecurigaan kepada banyak orang yang dikenalnya. Tetapi, dia tidak ingin meracuni pikiran putrinya dengan sak wasangka.

"Kita hidup di negeri bangsa lain, ini bukan tanah leluhur kita. Kau mengerti kan jika banyak yang menginginkan kenyamanan hidup yang kita miliki saat ini."

"Mungkinkah orang-orang pribumi bermaksud merebut kembali tanah ini?"

"Ya, bisa saja. Tapi, siapa? Itu yang tidak bisa kujawab."

"Ayah, apakah Ayah mencurigai salah satu diantara mereka?"

"Maksudmu?"

"Para pekerja itu."

Anna menatap ke kejauhan. Tampak di matanya orang-orang berkulit cokelat gelap sedang tertawa terbahak-bahak. Entah apa yang mereka bicarakan, sepertinya ada hal lucu dimana hanya mereka sendiri yang mengerti kelucuan itu.

"Sulit menemukan bukti, banyak diantara mereka yang sudah bekerja kepada kita selama bertahun-tahun."

"Bukankah orang-orang yang sudah mengenal kita, jadi lebih tahu kelemahan kita?"

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang