"Kau mengenalnya, A Ling?"
"Tentu saja! Dia sahabatku!"
A Ling menjawab dengan tegas pertanyaan Anna yang menyiratkan keheranan. Mereka berdua masih memasang kuda-kuda dan siap saling menyerang.
"Hei hei ... Ada apa dengan kalian?" seseorang yang baru datang itu masih sulit memahami pemandangan di depannya.
Suasana masih tegang dan tidak ada seorang pun yang mau menjelaskan apa yang sedang terjadi. Orang yang baru datang itu berdiri di tengah-tengah diantara Anna dan A Ling yang sudah siap menerjang. Orang-orang yang menyaksikan perkelahian itu pun bertambah heran dengan kedatangan seorang gadis sebaya Anna dan A Ling. Kenapa dia bisa menghentikan perkelahian?
"Nona Anna, bisakah kau jelaskan kenapa kalian harus berkelahi? Apakah kau tidak membayar makanan yang dipesan di sini?"
"Hei, aku tidak melakukan itu. Dia yang mulai menyerangku!" seraya menunjuk wajah A Ling, Anna membentak orang yang bertanya.
"Dia yang memulai duluan!"
Gadis penengah itu menggelengkan kepala. Dia merentangkan tangannya sembari mengarahkan telapak tangan ke dua arah.
"Sekarang, sebaiknya kalian saling memaafkan. Tidak baik berkelahi, lihatlah ... orang-orang memperhatikan kalian. Kalian tidak malu?"
"Tunggu, sekarang kau di pihak siapa?" Anna bertanya pada si gadis penengah.
"Hei, aku tidak di pihak mana pun."
"Oh, itu berarti kau memihak dia. Bukankah kau sahabatnya?"
Gadis penengah itu jadi bertambah bingung dengan kesimpulan Anna. Baginya, ini bukan cara penyambutan yang baik bagi seseorang yang sudah saling kenal.
"Pratiwi, mulai saat ini ... kau harus berhadapan denganku ...."
"Nona Anna, kenapa begitu? Bukankah selama ini hubungan kita baik-baik saja? Kenapa tiba-tiba kau berpikir begitu?"
"Karena kau bersahabat dengan gadis itu, berarti kau juga menjadi musuhku!"
Pratiwi, itulah nama gadis penengah itu. Tubuhnya langsing dengan tinggi badan sedikit lebih pendek dari Anna dan sedikit lebih tinggi dari A Ling. Rambutnya hitam mengkilap dengan gelung ke atas. Kulitnya kuning langsat, tetapi kencang. Bajunya seperti laki-laki, pangsi tanpa kancing dan celana di atas mata kaki. Warna cokelat saja yang membedakan dengan pakaian laki-laki pribumi yang sering melintas di Batavia.
Pratiwi datang dengan berkuda. Tidak sempat menambatkan kudanya, dia langsung berlari ke arah beranda rumah makan Cina dimana terjadi pertarungan sengit antara Anna dan A Ling. Kini, tanpa sebuah persiapan fisik dan mental Pratiwi harus bisa melerai 2 orang yang sangat dikenalnya.
"A Ling, ada apa sebenarnya? Kau harus menjelaskannya padaku." Pratiwi penasaran ingin tahu apa pangkal masalahnya sehingga A Ling harus berkelahi dengan Anna.
"Nanti saja saudara sepupumu saja yang akan menerangkannya."
"Panca? Ini semua ada hubungannya dengan Panca?"
A Ling menganggukan kepala sedangkan Anna masih memasang wajah tegang. Tanpa gerakan, bahunya nampak begitu kaku.
"Oh, jadi kalian berkelahi karena memperebutkan laki-laki?" Pratiwi bertanya meyakinkan sambil tersenyum.
"Bukan!" Anna dan A Ling menjawab dengan serempak.
Pratiwi mengangkat bahu, entah merasa geli dengan kenyataan yang dihadapinya atau sebenarnya dia tidak ingin terlalu ikut campur lebih dalam jika menyangkut masalah hati.
Orang-orang yang menonton perkelahian itu geleng-geleng kepala. Entah apa yang ada dalam pikiran mereka. Sakwasangka tentunya menuju kedua gadis yang sedang berseteru.
"Hei ... apa pun itu, sebaiknya kalian rukun saja. A Ling, sebaiknya kau kembali bekerja dan Nona Anna, apa urusanmu sehingga kau ada di Batavia?"
Anna menjawab ketus, "itu bukan urusanmu Pratiwi. Kau sendiri kenapa ada di Batavia?"
"Saya sih sedang mencari ayah saya. Ibu saya sakit keras makanya dia saya jemput untuk segera pulang."
"Ayahmu? Apakah ayahmu Raden Aditama?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
ActionAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...