62

73 19 0
                                    

Pratiwi bukanlah tipe gadis rumahan. Gadis itu lebih suka melalui hari di luar rumah. Berkebun, berkuda atau belajar beladiri menjadi keseharian remaja berusia belasan itu. Seperti hari ini, berkuda mengelilingi Batavia menjadi sesuatu yang mengasyikan baginya.

Ketika biasanya berkuda adalah kegiatan mengisi waktu luang, kini Pratiwi diharuskan berkuda untuk mencari ayahnya. Ditemani kuda kesayangannya, Nakula, gadis itu menghirup udara berbeda. Udara desa yang segar berbeda dengan udara kota yang pengap. Cerobong asap dari pabrik terlihat mengepul ke angkasa. Pratiwi sering merasa penasaran apa yang dibuat di sana. Tetapi, dia tidak diperbolehkan untuk masuk melihat apa yang sedang terjadi di dalamnya.

"Hei, siapa kau? Pergi sana!"

Penjaga pabrik itu membentak jika ada orang yang tak dikenal mencoba mendekat. Daripada dia bersitegang, gadis itu lebih suka mengajak Nakula menyusuri pinggir sungai yang begitu sering dijumpai di Batavia.

Sungai-sungai di Batavia yang dihiasi sampan-sampan sering terlihat seperti bebek yang berenang di kolam yang keruh. Warna sampan itu yang seragam mengisyaratkan jika benda-benda itu dibuat dari bahan yang sama. Kayu, bambu dan daun rumbia. Walaupun begitu, Pratiwi menikmati pemandangan itu karena itu hal yang tidak bisa dijumpai di desanya.

Sesekali gadis itu menghentikan langkah kudanya, mengamati wajah-wajah berkulit gelap yang cenderung kering. Mungkin sekali di balik kulit wajah mereka tidak banyak lemak yang menempel. Pertanda jika orang-orang itu pekerja keras yang tidak suka menimbun lemak dengan banyak berdiam diri. Atau, tidak ada makanan sebagai sumber lemak yang cukup untuk ditimbun di balik kulit-kulit gelap itu.

Pratiwi datang ke Batavia dengan misi untuk mencari ayahnya. Seorang pria dengan pekerjaan yang tidak jelas. Anaknya sendiri tidak pernah yakin apa yang dikerjakan oleh ayahnya. Hal yang dia tahu jika ayahnya itu mempunyai banyak kenalan di Ibu Kota.

Raden Aditama, ayah Pratiwi lebih sering meninggalkan rumah. Dia jarang sekali berada bersama keluarganya dalam waktu lama. Begitupula hari ini, Aditama sudah lama tidak pulang ke Desa Pujasari. Bahkan, ketika istrinya sakit keras orang itu tidak juga menampakan batang hidungnya.

Wajar jika Pratiwi tidak bisa menunggu ayahnya pulang dalam waktu lebih lama lagi. Pratiwi ingin ayahnya berada di sisi ibunya ketika keadaan ibunya semakin kritis. Untuk itu pula, Pratiwi menyengajakan diri menyusul sang ayah hingga ke Batavia.

Di mana ayahku? Di atas punggung kuda, Pratiwi terus mengarahkan pandangan ke banyak arah.

Nakula menggoyangkan badannya, kuda jantan yang ditunggangi Pratiwi seakan mempertanyakan ke arah manakah tujuan perjalanannya hari ini. Sejak pagi, Pratiwi berkeliling Batavia tetapi belum memperoleh apa yang dia cari. Sesekali dia bertanya pada orang yang lewat tentang ayahnya, tetapi tidak ada satu pun yang tahu ke mana gerangan.

"Paman, tahukah di mana ayah saya, Raden Aditama berada?"

"Oh, saya pernah melihatnya beberapa hari lalu, Nyimas. Tapi, sekarang saya tidak tahu."

Kurang lebih begitulah jawaban orang-orang ketika ditanyai. Banyak yang mengenal Raden Aditama tetapi mereka tidak sepenuhnya tahu ke mana orang itu.

Pratiwi mengerti jika orang yang mengenal Aditama akan memanggil gadis itu dengan sebutan "nyimas". Mungkin orang itu tidak mengenal anaknya, tetapi orang tahu jika bapanya adalah priyayi dari desa nan jauh di luar Batavia. Tidak seperti penjaga pabrik yang membentak Pratiwi, orang yang mengenal Aditama tentu saja akan menghormati Pratiwi juga. Dan, mereka tahu jika berurusan dengan anak gadis Raden Aditama, maka urusan bisa menjadi lebih ruwet.

Alasan menghormati seorang gadis desa seperti Pratiwi ada 2 kemungkinan, menghormati seorang priyayi atau takut berurusan dengan bapanya.

Mungkinkah orang-orang itu sekedar berbasa-basi? Apakah mereka benar-benar tidak tahu di mana ayahku atau memang tidak ingin memberitahuku?

Pertanyaan-pertanyaan seperti itu muncul juga di batin Pratiwi. Andai saja ayahnya diketemukan hari itu juga, maka dia akan segera mengajaknya pulang. Tapi, kemana lagi Pratiwi harus mencari?

Nakula berdiri di pinggir kanal yang sedang meluap. Airnya membanjiri jalan yang seharusnya dilalui.

Ketika melihat genangan di depannya,  Pratiwi berpikir berkali-kali untuk meneruskan perjalanan. Semua jalan di kota itu sudah dilaluinya. Kini, tinggal sebuah jalan yang akan membawanya ke arah barat. Jalan itu menuju pinggiran kota yang terdiri dari pemukiman penduduk. Dari kejauhan, tidak tampak gedung-gedung megah sebagaimana di tengah kota. Di sana, daun nyiur melambai lebih banyak terlihat oleh mata bulat Pratiwi.

Pratiwi menundukan kepala. Lelah. Tangan kanannya mengelus leher Si Nakula. Kuda itu seakan mengerti ketika dielus-elus oleh pemiliknya, berarti hewan itu harus lebih bersabar untuk terus menempuh perjalanan. Perjalanan yang lebih panjang dari sebelumnya.

Errrrgh ...

Nakula mengangkat kepalanya. Hewan itu memberitahu sesuatu pada pemiliknya.

"Ada apa, Nakula?"

Tentu saja hewan tunggangan itu tidak akan menjawab apa-apa. Dia malah mengibaskan ekornya kemudian diikuti oleh kepala yang digelengkan seakan memberi tanda.

Pratiwi menatap ke depan.

Panca dan Anna? Sedang apa mereka di sana? Siapa yang mengejar mereka?

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang