63

59 20 0
                                    

Pratiwi heran dengan apa yang dilihatnya. Di atas punggung kuda, gadis itu menunggu apa yang sebenarnya terjadi.

Dari kejauhan, nampak 2 ekor kuda yang sedang berlari kencang. Di belakangnya, beberapa orang berlari dengan kencang menerjang genangan banjir.

"Hei, Panca ... ada apa?" Pratiwi berteriak kencang demi memastikan apa yang sebenarnya sedang terjadi.

Orang yang ditanya tidak menjawab. Mungkin sekali orang itu mendengar atau tidak ada waktu dan tenaga untuk menjawab. 

"Nona Anna, kalian kenapa?" Pratiwi berteriak lebih kencang lagi.

Apakah ini sebuah kebetulan, ketika Pratiwi mulai kehilangan harapan untuk menemukan ayahnya tiba-tiba dia bertemu dengan orang yang dikenalnya. Seakan takdir yang ditentukan ketika sebuah usaha akan menemukan titik terang menuju hasil. Ketika Pratiwi tidak punya berita apa pun tentang ayahnya, apakah bertemunya dia dengan Panca dan Anna menjadi salah satu kesulitan yang terus tersingkap.

Namun, Pratiwi mulai merasakan sesuatu yang janggal dengan apa yang dilihatnya. Ketika kuda-kuda yang ditunggangi Anna dan Panca semakin mendekat, Pratiwi menyaksikan teman-temannya begitu ketakutan. Bagaimana tidak,  orang-orang yang mengejar mereka berdua berhasil melemparkan benda-benda yang bisa melukai.

Derap langkah kuda-kuda itu semakin terdengar. Kaki-kaki hewan tunggangan itu beradu dengan genangan air yang terus saja meninggi. Lutut si kuda tenggelam ke dalam keruhnya banjir yang meluap dari sungai. Padahal, saat itu Batavia belum terguyur hujan lebat. Hanya rintik-rintik air yang menetesi wajah Pratiwi yang masih setia menunggu Panca dan Anna mendekat.

"Pratiwi, lari!" dari kejauhan Panca berteriak menyuruh Pratiwi untuk segera melecut kudanya.

Tapi, gadis itu tidak segera menarik tali kekang. Dia tidak ingin meninggalkan kedua temannya yang masih dilanda bahaya.

Piunngggg!

Sebatang tombak melayang di angkasa. Hampir saja mengenai kepala Anna.

Bukan pertemuan yang penuh kegembiraan apalagi keharuan, ketika mereka bertiga bertemu dalam situasi yang penuh bahaya. Wajah-wajah ketiga anak remaja itu semakin jelas  terlihat tegang ketika satu sama lain saling berhadapan. Saat itu, tidak banyak orang yang memperhatikan kejadian itu. Mungkin sekali warga tidak mau bersusah-susah berada di wilayah yang terendam banjir. Sepertinya mereka lebih nyaman tinggal di rumah saat genangan semakin tinggi.

"Ayo cepat lari!" Panca berteriak ketika berpapasan dengan Pratiwi yang masih terpaku.

"Baiklah."

Tiga ekor kuda berlari bersama menuju pusat kota. Mereka berharap komplotan penjahat itu tidak terus-terusan mengejar. Kaki-kaki hewan tunggangan itu menyusuri jalanan yang becek, kemudian berangsur menjadi jalanan yang lebih kering.

Mereka melewati deretan rumah penduduk dengan berbagai gaya. Awalnya banyak rumah beratap rumbia yang ditemui. Kemudian rumah tembok bergaya Eropa yang berjejer rapi di sepanjang kedua sisi jalan raya.

Ketika jalan raya semakin ramai, maka laju kuda pun berangsur menjadi lamban. Orang-orang yang berkuda atau berjalan kaki masih terlihat lalu-lalang memadati jalanan ibu kota. Terlihat juga beberapa orang polisi yang berpatroli. Diantara mereka ada yang berjalan kaki serta berkuda sambil menenteng senapan laras panjang.

Kebetulan banjir tidak menggenangi pusat kota dan di sana masih banyak orang yang beraktifitas. Anna, Panca dan Pratiwi berjalan beriringan di jalanan yang masih kering. Debu masih mengepul karena terinjak kaki-kaki kuda. Angin pun bertiup kencang membawa debu-debu itu pergi menjauh. Terbang ke angkasa terbawa hingga ke lautan bebas di sebelah utara.

"Ternyata di sini tidak banjir ya?" Panca terheran-heran dengan kondisi jalanan yang masih kering dan berdebu.

"Di sini tidak hujan, mungkin genangan tadi banjir kiriman dari hulu sungai. Air meluap dan menghambat laju kuda-kuda kita," Anna menerka situasi apa yang sedang terjadi di depan matanya.

"Tunggu dulu, kalian belum menjelaskan apa yang telah terjadi pada kalian?" Pratiwi mengalihkan pembicaraan karena penasaran.

"Pratiwi, nanti kita bicara di tempat yang aman dan nyaman. Aku khawatir mereka masih mengikuti kita."

"Siapa mereka?"

"Sssst, ada polisi sedang mengawasi kita. Nanti saja kita bicara."

Pratiwi mengerti kenapa Panca tidak ingin membicarakan apa yang telah terjadi pada dia dan Anna. Apalagi Anna terlihat masih tidak mau bicara panjang lebar tentang apa yang tengah terjadi. Gadis berambut pirang itu terlihat masih kebingungan.

Entah kebetulan atau tidak, polisi berjaga-jaga di sudut kota dalam jumlah banyak. Apakah ini karena Batavia bersiap menghadapi banjir yang diperkirakan akan semakin membesar. Nampaknya ini sudah menjadi rutinitas para petugas keamanan ketika situasi dianggap "tidak normal".

"Nona Anna, kau baik-baik saja?" Pratiwi memberi perhatian pada orang yang sedari tadi masih sulit diajak bicara.

"Tidak Pratiwi. Aku tidak baik-baik saja."

"Maaf, mungkin pertanyaanku ...."

"Pratiwi, dengarkan aku. Apa hubungan ayahmu dengan ini semua?"

Sontak Pratiwi kaget dengan pertanyaan Anna yang menohok seperti itu.  

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang