Batavia masih menjadi tempat yang ramai. Riuh rendah suasananya membawa Panca pada keadaan yang sangat berbeda dengan desanya. Di sini, dia bisa melihat begitu banyak tipe orang.
Baru saja dia melihat seorang serdadu berbaju biru yang baru pulang dari perang. Jumlah mereka sangat banyak, mungkin ratusan. Tampak dari wajah mereka yang lusuh dan belum sempat merasakan kenyamanan. Mungkin sekali para serdadu itu datang dari tempat yang sangat jauh; karena setahu Panca tidak ada peperangan di pulau Jawa. Setidaknya, koran tidak memberitakan peristiwa peperangan.
Semua orang berdiri di pinggir jalan, menyaksikan iring-iringan serdadu yang akan pulang ke barak itu. Sudah menjadi hal lumrah ketika sesuatu yang jarang terjadi menjadi tontonan. Sekedar hiburan di sela kesibukan.
Dan, orang-orang yang berdiri di pinggir jalan itu pun beragam. Tidak seperti para serdadu yang memakai seragam, penduduk Batavia ada yang berpakaian ala Cina, Jawa dan tentu saja Eropa. Di jalan raya yang ramai, mereka semua berbaur. Walau, tentu saja hati mereka tidak bisa menyatu karena terlalu banyak perbedaan. Mungkin hanya satu persamaan yang mereka miliki, kepentingan. Ya, kepentingan mereka yang datang ke pasar demi memenuhi kebutuhan.
"Ini harganya berapa?"
Kira-kira pertanyaan itu yang sering terlontar dari calon pembeli yang datang. Ada yang bertanya dalam bahasa Melayu, Cina dan sesekali bahasa Belanda. Tergantung pada siapa yang menjadi calon pembeli itu, bahasa mereka berbeda-beda. Kala itu tidak ada bahasa pemersatu. Tapi ada hal yang membuat mereka bersatu, uang.
Uang adalah sarana komunikasi paling efektif di Batavia. Nampaknya orang tidak terlalu memperdulikan dari mana dan apa suku serta agamanya, asalkan dia punya uang maka komunikasi bisa lancar.
Komunikasi bisa tersendat ketika jumlah uang yang dibayarkan belum bisa disepakati. Sebagaimana Panca masih tawar-menawar dengan seorang perempuan Belanda bergaun putih kala pagi itu. Hal yang lumrah ketika ada seorang pembeli menginginkan harga yang murah, tetapi tidak lumrah ketika calon pembeli menawar terlalu rendah.
"Nyonya, harga yang anda tawarkan terlalu rendah."
"Hei, Nak. Barang yang kau jual seharusnya lebih murah. Barang seperti ini bisa aku dapatkan dengan harga murah di Shanghai."
"Maaf, Nyonya. Tapi ini Batavia bukan Shanghai. Keadaannya berbeda."
"Berbeda bagaimana?"
"Entahlah, saya tidak tahu. Tapi, saya kira ...."
"Sudahlah, Nak. Kau ingin barangmu laku atau tidak?"
"Tentu saja saya ingin barang saya laku."
"Hei, Nak. Aku ingin membeli pot bunga ini dalam jumlah banyak. Tetapi, aku tidak tahu bagaimana cara membawanya."
"Kalau Nyonya berkenan, saya akan membawa pedati ke rumah Nyonya."
"Baiklah, kalau begitu. Aku janji akan membeli pot bunga buatanmu. Aku suka. Di rumahku masih banyak ruang untuk menanam bunga. Jadi, aku membutuhkan banyak sekali pot bunga."
"Baiklah, sekarang juga saya akan mengantarkannya ke rumah Nyonya."
"Ya, aku menunggumu di rumahku."
"Tapi, rumah Nyonya di mana?"
"Oh, aku belum memberitahu alamatku. Eee ... kau datang saja ke rumah Tuan Van De Meer, notaris. Notaris Van De Meer."
"Notaris?"
"Ya, suamiku seorang notaris. Kau ikuti saja jalan ini hingga kau akan menemui rumah dengan penuh bunga. Tanyakan saja pada orang-orang, mereka tahu di mana rumahku."
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
ActionAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...