52

71 18 0
                                    

"Kenapa seakan kau tahu harus memulai pencarian itu dari sini?" Anna bertanya didorong rasa penasaran.

"Kau selalu menyangka jika aku bagian dari komplotan itu," Panca pun mengemukakan alasan.

"Ya, mereka sering menghindar ketika kau menghampiri."

"Aku punya firasat jika orang yang kau cari adalah orang-orang yang mengenalku. Kita mulai dengan orang yang kau tembak tangannya."

"Baiklah, suatu rencana yang bagus."

Anna mengikuti Panca berjalan kaki menyusuri jalan setapak. Mereka mulai masuk ke dalam semak-semak diantara pohon-pohon kelapa yang tidak memberi kesempatan bagi tumbuhan di bawahnya untuk menikmati sinar matahari.

Dengan senapan di tangan serta tas ransel di punggung, Anna berlagak seperti tentara yang sedang bergerilya. Ditambah, topi laken yang menghiasi kepalanya menyiratkan jika gadis itu benar-benar siap untuk berpetualang. Rambut pirang yang terikat ke belakang, malah menyiratkan gadis itu seperti pemburu di tengah hutan yang sedang mencari binatang buruan.

Sesekali Panca menoleh ke belakang. Dia tersenyum melihat gaya Anna yang berbeda dengan kesehariannya.

"Hei, kenapa kau tersenyum; ada yang aneh denganku?"

"Tidak. Kau berbeda seperti biasanya kulihat."

"Terimakasih sudah terpukau denganku."

"Hei, justru sebaliknya. Kau lebih terlihat seperti Tuan Eickman tanpa janggut dan jambang."

"Ya, ayahku pernah bilang begitu. Aku lebih mirip anak laki-laki bila berpakaian seperti ini. Mirip dengannya di kala muda."

"Tapi, kau tetap cantik."

Anna memegang pundak temannya. Panca pun menghentikan langkahnya dan menoleh ke belakang.

"Panca, fokus! Bukan saat yang tepat untuk menggodaku ...."

Panca menggelengkan kepala. Kenapa gadis itu selalu menanggapi serius segala hal. Tidak bisakah dia mengendorkan pikirannya. 

Panca berjalan dengan langkah yang semakin lambat. Dia tidak ingin kedatangannya diketahui oleh orang yang mungkin saja berpapasan atau memperhatikannya dari jarak jauh.

Di sela langkahnya yang semakin mengendap-endap. Hati anak laki-laki itu tertarik untuk menanyakan sesuatu yang masih menjadi pertanyaannya sejak kemarin.

"Anna, setelah sejauh ini ... apakah kau masih belum menceritakan padaku ... benda apa yang telah dicuri dari rumahmu?"

Anna tidak langsung menjawab pertanyaan orang di depannya. Dia menimbang sesuatu.

"Kau masih belum percaya denganku. Tidak apa-apa jika kau tidak mau menceritakannya padaku."

Kali ini, Anna langsung menjawab tanpa banyak berpikir.

"Surat tanah. Itu pula yang hendak dicuri oleh perampok di rumah Tuan Van De Meer."

"Apakah dia orang yang sama?"

"Bisa jadi orang yang sama, tapi mungkin saja bukan."

"Oh, ternyata dia pencuri yang cerdas."

"Ya, kita harus berhati-hati dengannya."

"Dia tahu mana barang yang berharga."

Panca menghentikan langkahnya. Anna pun mengikuti orang di depannya. Mengurungkan langkahnya.

"Nona, aku tidak mengerti ... mereka mencuri surat tanah itu untuk apa?"

"Aku curiga dia memusnahkan surat itu. Kemudian, dia menerbitkan surat yang baru."

"Bukankah ... itu tugasnya seorang notaris seperti Tuan Van De Meer."

"Ya, makanya aku mendatangi dia. Selain untuk memberi laporan, aku juga meminta dia untuk segera mengurus surat tanah yang baru. Sayangnya, polisi tidak menerbitkan keterangan jika surat tanah itu hilang."

"Bukankah kasus itu telah ditangani polisi?"

"Ya, tapi ... sepertinya ayahku tidak berterus terang pada polisi jika surat tanah itu dicuri. Ayahku mencurigai salah seroang polisi yang berjaga di perkebunan sebagai pelakunya."

"Ternyata masalahnya sungguh pelik."

"Makanya, sebelum aku pulang ... aku harus mencari surat itu. Sebelum pencuri itu menerbitkan surat yang baru."

"Eeee ... kalau misalnya ... dia berhasil menerbitkan surat tanah yang baru, apa yang akan terjadi?"

"Tanah perkebunan keluargaku bisa lepas ke tangan orang lain."

"Semudah itu kah?"

"Ya, meskipun urusannya dibawa hingga ke pengadilan. Jika tidak ada bukti kepemilikan maka sulit untuk mempertahankan kepemilikannya."

"Sungguh pencurian yang berkelas ...."

Anna menundukan kepala ketika berjalan. Panca tahu jika teman wanitanya itu bersedih jika apa yang disampaikannya benar-benar terjadi.

Anna berjalan dengan langkah gontai. Tidak semangat sebagaimana sebelumnya. Suasana hatinya tiba-tiba saja berubah. Muram.

Begitu juga suasana di hutan itu begitu muram. Gelap, semakin terus berjalan maka semakin gelap. Bukan hanya pohon kelapa yang tumbuh subur di sini. Ada beberapa pohon bakau yang tumbuh subur di sana. Akarnya seakan keluar dari tanah dan menyatakan keangkuhannya. Menyambut 2 anak manusia yang datang tanpa permisi.

"Ssstt!"

Panca meletakan telunjuknya di bibir.  Tangan kirinya diangkat dan membungkukan badan.

"Ada apa?"

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang