"Sebaiknya kau pergi, aku tidak mau bertemu lagi denganmu!"
"Tapi, Nona ...."
Hujan memang mulai mereda, tapi tubuh remaja itu terlihat basah kuyup. Baju pangsi yang berwarna hitam semakin terlihat gelap dalam keadaan basah. Ikat kepala motif batik yang dikenakan hampir lepas karena kebasahan. Kainnya tidak kuat menahan air yang meresap, karenanya si pemilik kepala melepaskan ikatan itu.
"Aku tidak membutuhkanmu! Aku bisa menyelesaikan masalahku tanpa ikut campur darimu!"
"Nona, Nona Anna ... berilah saya kesempatan bicara. Saya punya firasat jika pencuri yang kau maksud ...."
"Pencuri apa? Aku tidak pernah bicara padamu tentang pencuri ...."
"Hei Nona, saya tahu jika kau menuduh pencuri pada pedagang di pasar ... sepertinya desas-desus itu sudah menyebar ...."
"Panca! Aku tahu kau bagian dari mereka!"
"Apa buktinya?"
"Bukti? Perlu berapa kali lagi aku membuktikan! Di pinggir kanal, si pencuri itu takut akan kehadiranmu!"
"Tapi, aku tahu ... kamu tidak yakin akan hal itu ... aku tahu hatimu ragu jika aku adalah bagian dari mereka!"
Kedua remaja itu saling sahut satu sama lain. Jarak mereka yang cukup jauh membuat mereka harus saling mengencangkan suara ketika bicara.
"Nona, tolong ... izinkan saya masuk."
"Tidak! Sebaiknya kau pergi!"
"Nona, aku tahu ... kau masih menginginkanku ada di dekatmu."
"Hei, mana bisa kau menyelami isi hatiku!"
"Tidak, aku tidak menyelami isi hatimu, Nona. Aku tahu itu ketika kau membekali uang ... uang yang kau letakan di meja rumah makan Cina tadi pagi."
"Itu hanya pengganti uang makan dan uang penginapan."
"Ya, tapi kelebihannya terlalu besar ... dan kau tahu uangku tidak cukup untuk lama-lama berada di Batavia."
Nyonya Van De Meer tersenyum pada suaminya. Kerlingan mata wanita itu nampaknya paham apa yang sedang terjadi.
Nampaknya Anna sulit untuk bersikap ramah pada temannya itu. Gadis itu benar-benar ingin menjaga jarak. Dia sulit menerima kenyataan jika dirinya sendiri menuduh orang yang banyak berbuat baik padanya sebagai bagain dari komplotan pencuri.
Anna masih sulit memilih antara persahabatan dengan anak pribumi yang tanpa pamrih seperti Panca. Atau, dia terus dibelenggu oleh rasa curiga, padahal selama ini mereka berteman tanpa saling rasa curiga.
Bagi Anna, ingin rasanya dia tetap menjadi anak-anak yang tidak dijejali oleh pikiran negatif dan penuh ketulusan. Tetapi, waktu malah menampakan pada matanya bahwa dunia di luar sana begitu kejam. Dan, dia pun mulai mengenal istilah tiada pertemanan yang abadi, yang ada hanyalah kepentingan yang abadi.
"Raden, sepertinya kita harus mengakhiri persahabatan kita."
"Kenapa, Nona?"
"Kita berbeda, Raden."
"Apa karena saya ...."
"Kau juga nanti akan mengerti, jika kenyataannya kita harus menjaga jarak. Kepentingan kita berbeda. Kita hidup di dunia yang berbeda, cita-cita yang berbeda walaupun kita hidup di tanah yang sama."
"Oh, aku tidak menyangka kau berpikir seperti itu."
"Apa yang dikatakan orang-orang di kampungmu itu benar. Kita harus menjaga jarak karena kita berbeda."
Panca masih sulit menerima pernyataan temannya. Dia tertunduk pilu. Anak remaja itu rasanya ingin sekali menangis. Tapi dia merasa ini bukan waktunya untuk menangis. Anak laki-laki jangan menangis, apalagi di depan seorang gadis.
"Raden, aku permisi," Anna berkata ketus dengan sambil membalikan badan.
"Tunggu dulu, Nona!" Panca berteriak dengan dengan tetap memegang ujung-ujung pagar yang runcing, "aku tahu orang yang suka membawa bilah bambu!"
Anna mengurungkan langkahnya. Aduh, dia punya informasi yang kubutuhkan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
AçãoAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...