45

80 20 0
                                    

Jam berapa sekarang?

Anna terperanjat, matanya terbuka lebar. Gadis itu semakin yakin jika hari tidak lagi malam ketika semburat cahaya matahari masuk ke sela-sela jendela.

Anna beranjak dari tempat tidur. Dia membuka engsel kemudian mengayunkan kedua daun jendela ke arah luar. Wush, udara pagi menerpa wajahnya. Terdengar suara burung perkutut milik tetangga walaupun tidak jelas dimana hewan itu dikurung. Per ... ku ... tut tut tut ....

Si perkutut bernasib lebih malang dibandingkan para burung gereja yang terbang bebas. Burung-burung mungil itu berjalan di atap rumah. Sebagian dari mereka beterbangan diantara pohon mangga yang tumbuh subur di halaman belakang rumah Tuan Van De Meer.

Bulan purnama itu ke mana? Ah, kini dia sudah tidak ada lagi. Menyaksikan suasana yang berbeda dari  sebelumnya, Anna bergegas pergi ke kamar mandi.

"Anna, sayangku ... kau sudah bangun."

Nyonya Van De Meer yang bermaksud membawakan sarapan untuk gadis itu terpaksa memutarbalik tubuhnya. Awalnya bermaksud masuk ke kamar, tetapi kini si nyonya rumah meletakan sarapan di atas meja makan.

"Gadis itu sudah bangun?" Tuan Van De Meer sudah siap dengan pakaian yang rapih. Nampaknya dia ingin berangkat lebih pagi.

"Oh, apakah tidak sebaiknya kau tidak bekerja hari ini? Semalam kau kurang tidur."

"Ah, inginnya begitu. Tapi, aku harus memenuhi janji dengan seseorang. Dan, tidak bisa kutinggalkan."

"Oh, sayang ... sudah saatnya kau pensiun. Tubuhmu tidak sekuat dulu. Apakah tidak ada orang lain yang bisa menggantikanmu?"

"Hahaha ... aku masih muda."

"Ya, semangatmu memang tidak berubah. Tapi, kerutan di wajahmu tidak bisa membohongiku."

"Baiklah, akan kuusuhakan untuk mencari penggantiku. Mudah-mudahan menantu kita mau meneruskan profesiku."

"Ya, semoga saja. Sepulangnya dari Nederland dia mau membuka kantor notaris di sini."

Suami istri itu tidak berlama-lama lagi saling bicara. Mereka berpamitan dengan sebuah pelukan dan ciuman di kening sang istri.

"Nyonya, sejujurnya aku ingin sekali seperti Anda berdua. Mesra sampai tua." Sekonyong-konyong Anna datang dengan pakaiannya semula, kemeja disertai celana panjang yang disambung dengan sepatu but kulit lembu.

"Oh, kau sudah rapi. Berburu lagi?" Nyonya Van De Meer menggoda Anna sambil tertawa, "hahaha ...."

"Ah, Nyonya. Saya pamit dulu."

"Berkeliling Batavia?"

Anna menganggukan kepala sambil tersenyum.

"Aku harap kau pulang sebelum malam. Kami akan menunggumu sebelum makan malam."

"Ya, kalau begitu ...."

"Hei, sarapan?"

"Nanti saja, Nyonya."

"Sudah kuduga kau akan terburu-buru. Makanya, aku sudah menyiapkan bekal untukmu dan untuk anak itu." Nyonya Van De Meer memasukan bungkusan ke dalam tas rangsel yang digendong Anna, "beberapa potong roti dan daging."

"Nyonya, bolehkan saya memelukmu."

"Oh, tentu saja sayangku."

Anna dan si nyonya rumah saling berpelukan. Sebuah pelukan hangat yang sudah lama tidak dirasakan oleh Anna. Tanpa diundang,  bulir-bulir air  menetes diantara pelopak mata gadis berambut pirang itu.

"Anna, berhati-hatilah."

Anna menganggukan kepala.

"Aku tahu kau sulit mempercayai orang pribumi, tapi ... bertanyalah pada hatimu, apakah mereka benar-benar tidak layak untuk dipercayai?"

"Ya, Nyonya. Saya mengerti."

"Sebaliknya, kau tidak bisa menaruh kepercayaan penuh pada sesama orang Eropa. Karena, kau tahu ... orang Eropa datang ke negeri ini dengan ambisinya masing-masing."

Anna tidak tahu bagaimana menanggapi kata-kata orang di hadapannya, dia kebingungan antara harus menyetujuinya atau menyanggahnya.

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang