Panca melayani pelanggannya dengan wajah tak bersemangat. Hari itu dia sulit beramah tamah sebagaimana biasanya seorang pedagang melayani pembeli. Orang yang lalu-lalang di depannya hanya dianggap sambil lalu saja. Panca pun menjadi tidak semangat menawarkan barang dagangannya.
Pedagang lain yang menyaksikan sikap anak remaja itu mencoba menghampiri kemudian bertanya, "Raden, apakah kau masih memikirkan hal yang tadi?"
"Ya, saya jadi terus terpikir perkataan Anna tadi."
"Raden, anggap saja perkataan Nona Anna hanya luapan kekesalan belaka. Tidak usah diambil hati."
"Tidak bisa begitu, Paman. Buat saya ini masalah yang pelik, lebih pelik dari yang Paman lihat."
"Maaf, saya tidak terlalu mengerti apa maksud Raden."
"Anna, bukan hanya merasa kesal karena terkesan membela sesama pedagang di pasar. Ada masalah besar yang melatarbelakangi kekesalannya pada saya."
"Latar belakang apa?"
"Ini sudah menyangkut masalah kebangsaan."
"Ah, bukankah sebetulnya kita tidak pernah benar-benar akur dengan bangsa Eropa?"
"Ya, sepertinya Anna mulai berpikiran sama dengan bangsa Eropa lainnya. Menganggap orang pribumi itu musuh, musuh dalam selimut."
"Wah, saya sih tidak berpikir sejauh itu, Raden. Saya hanya ingin hidup tenang tanpa harus berperang."
Panca melirik orang di dekatnya. Orang itu bukan seorang bangsawan, pejabat pemerintah apalagi pemimpin perusahaan besar di Hindia Belanda. Apa yang dikatakan oleh pedagang di pasar menjadi keinginan dari orang-orang dengan status sosial terendah di negeri itu.
Ketika Panca tumbuh besar, banyak pengetahuan yang masuk ke dalam otaknya. Pemikiran anak remaja itu tidak sepolos orang-orang di sekitarnya. Dia mulai mengerti jika apa yang terjadi di depan matanya bukanlah sebuah kejadian yang terjadi begitu saja. Ada sebab dan akibat.
Tersaji di depan matanya, suasana pasar yang tenang tanpa perkelahian sebagaimana sebelumnya. Jika saja Anna tidak memiliki kecurigaan pada seorang pedagang di pasar, perkelahian itu tidak akan terjadi. Panca mulai bisa menyimpulkan jika rasa saling curiga itu malah menimbulkan pertikaian satu sama lain. Jika sebelumnya Panca dan Anna berteman akrab, itu terjadi karena diantara mereka tidak ada rasa saling curiga.
"Paman, menurut Paman, apa yang harus saya lakukan?"
"Ya ... mengalah saja. Karena, selama ini ... kita sebagai orang pribumi selalu mengalah pada orang-orang Eropa itu."
"Apakah kita tidak merasa harga diri kita sebagai orang pribumi ...?"
"Perdamaian, Raden. Tidak apa-apa jika harga diri kita di bawah mereka, Raden. Perdamaian lebih kita butuhkan."
Perdamaian, kata itu lebih penting bagi orang-orang di sekitar Panca. Perdamaian yang selama ini tersaji di depan matanya, perlu dipelihara. Jika ada perselisihan kecil, sebagaimana baru saja terjadi, maka harus segera diakhiri sebelum semuanya menjadi pertikaian besar.
"Paman, menurut Paman, ... apakah saya harus meyakinkan pada dia kalau apa yang dituduhkannya itu tidak benar?"
"Ya, menurut Paman ... sebaiknya Raden membuktikan pada Nona Anna kalau itu tidak benar."
"Tapi, bagaimana caranya?"
"Mungkin Raden harus tahu terlebih dahulu duduk permasalahannya. Bila perlu, sama-sama menyelesaikan masalahnya."
"Jika saya membiarkannya saja?"
"Jika Raden bukan seorang bangsawan, mungkin itu akan biasa saja. Tidak akan terjadi apa-apa. Raden Panca masih keluarga bangsawan yang mewakili kami orang-orang pribumi. Saya tetap berharap para bangsawan dan orang-orang Eropa hidup rukun sehingga kami pun ikut rukun."
"Maksud Paman, jika para bangsawan berselisih dengan orang Eropa, maka akan menjalar menjadi perselisihan antar bangsa?"
Pedagang itu menganggukan kepala.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
ActionAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...