16

81 25 0
                                    

"Anna!"

Suara teriakan itu semakin mendekat. Fisiknya semakin terlihat, dia tidak tinggi juga tidak terlalu pendek. Tubuhnya tidak gemuk atau kurus. Sedang-sedang saja untuk ukuran saat itu. Zaman dimana kehidupan masih terlampau keras sehingga tidak punya banyak waktu untuk berleha-leha dan menumpuk lemak di tubuh.

"Kau siapa?"

Anna masih mengarahkan senapan pada bayangan yang semakin mendekat itu. Meskipun semakin dekat, tidak bisa dilihat siapa pemilik tubuh yang sedang berjalan ke arah gadis itu. Dia berjalan membelakangi cahaya sehingga semakin menyulitkan Anna untuk memastikan siapakah yang datang. Jangan-jangan dia penjahat lainnya yang pura-pura mengenalku?

"Hei! Kau tidak perlu menodongkan senjata padaku!"

"Tentu saja aku harus menodongkan senjata pada orang yang tidak kukenal."

"Hei, tidak semua orang harus kau musuhi."

"Aku sulit menaruh kepercayaan pada orang-orang seperti kalian."

"Maksudmu, semua orang pribumi tidak bisa kau percaya ... termasuk aku?"

Anna mulai mengendurkan ketegangan. Hatinya masih bisa merasakan kenyamanan ketika orang itu semakin mendekat. Aneh, dia tidak takut untuk mendekat padahal aku menodongkan senapan.

"Ini aku, Anna."

"Oh ... kau ...."

"Ya, aku heran kau ada di sini."

"Kau sedang apa di sini?"

"Justru aku yang harus bertanya padamu, seorang gadis perkebunan bisa berjalan sendirian di tengah kota ... ini Batavia, Anna."

"Aku tahu, ini Batavia. Kau pikir ini ...."

"Hei, bisakah kita bicara baik-baik? Aku bukan salah satu diantara mereka."

"Bagaimana aku tidak curiga padamu, komplotan itu pergi begitu ketika melihatmu. Aku pikir kau ...."

"Kelompok lain yang terlibat persaingan dalam memperebutkan calon korbannya."

"Ya, tepat sekali. Bagaimana bisa kau mengetahui isi pikiranku?"

"Ah, itu biasa terjadi di sini."

"Kau tahu tentang mereka?"

"Hanya sedikit."

"Jangan katakan jika kau ada di Batavia karena terlibat dalam ...."

"Komplotan perampok? Hah, buat apa aku terlibat dalam perampokan. Aku ke sini untuk berdagang gerabah. Seperti yang biasa kulakukan bersama tetanggaku."

"Aku pikir ...."

"Ah, tidak semua orang itu jahat ... dan tidak bisa dipercaya ... sebagaimana yang seperti kau kira."

"Kau menyindirku?"

"Aku tidak menyindirmu. Aku hanya mengungkapkan kenyataan ... jika seorang Nona Anna punya rasa curiga berlebihan pada semua orang pribumi ...."

"Tapi, tidak termasuk padamu."

"Ah, aku hanya menerima kenyataan jika dilahirkan sebagai orang pribumi yang selalu dicurigai oleh orang Eropa."

"Tuh, kan. Kau terus menyindirku. Kau tahu, kata-katamu malah semakin membuat sikapku semakin tidak percaya pada orang pribumi."

"Itu bagus, Anna. Ini Batavia. Hanya dirimu sendiri yang bisa kau percaya. Anggaplah itu sebagai modal untuk tetap berhati-hati."

Anna tertawa lepas. Sudah lama dia tidak tertawa lepas. Ketegangan senantiasa menyelimuti kehidupan gadis itu akhir-akhir ini. Menertawakan diri sendiri ternyata bisa melepaskan itu semua dalam waktu sekejap.

"Hei, ternyata sekarang kau sudah berani memanggil namaku ya."

"Oh, maaf. Nona ... Nona Anna."

"Tidak apa, ini Batavia. Kita tidak sedang di perkebunan Tuan Eickman."

"Kau belum menjawab pertanyaanku, kau mau apa datang ke Batavia?"

"Kau betul-betul penasaran? Seperti yang kau katakan tadi ... aku sulit percaya pada semua orang kecuali pada ayahku."

"Jadi kau tidak akan memberitahuku. Oh, baiklah ...."

"Kau jangan tersinggung, lebih baik antarkan aku ke rumah makan yang masih buka. Aku lapar."

"Oh, aku punya langganan rumah makan sekaligus penginapan kalau kau mau."

"Di mana itu?"

"Di Pecinan."

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang