66

62 20 1
                                    

A Ling senang ketika bertemu dengan notaris. Itu artinya dia akan memperoleh sesuatu yang sudah menjadi haknya.

Sebagai anak yatim piatu, dia mendapatkan warisan dari orang tuanya sudah sejak lama. Sebagaimana disampaikan notaris, A Ling berhak menerima warisan itu ketika sudah menginjak usia dewasa. Dan, kini A Ling dianggap sudah cukup umur untuk mendapatkan apa yang telah ditinggalkan orang tuanya.

Siang itu, A Ling menjadwalkan waktunya untuk bertemu dengan Tuan Van De Meer. Seorang pria paruh baya yang menjadi pencatat urusan warisan A Ling dari orang tuanya. A Ling berjanji akan bertemu dengan Tuan Van De Meer di Bank Batavia. Sebagaimana biasanya, surat-surat penting disimpan di kotak deposit di Bank Batavia.

Tuan Van De Meer memilih Bank Batavia sebagai tempat menyimpan surat berharga karena di sanalah tempat yang dianggap aman. Lagipula, Bank punya cara sendiri untuk mengamankan surat-surat berharga milik nasabahnya.

Ketika telah sampai di Bank, A Ling ditemani walinya _Sang Ketua Perserikatan Orang Cina di Batavia_ duduk berhadapan dengan notaris Tuan Van De Meer. Mereka mengelilingi meja kayu dengan dilengkapi 4 kursi serta seperangkat alat tulis.

"A Ling, ini hari penting bagimu," Tuan Van De Meer membolak-balik berkas yang telah dikeluarkan dari kotak deposit.

"Iya, Tuan,"  A Ling tersenyum, "saya ingin mengucapkan banyak terima kasih pada Tuan Van De Meer dan juga ... Paman Ketua ... yang telah mengantarkan saya sampai di sini."

"Ini sudah menjadi kewajibanku, A Ling. Dan, aku senang melakukannya. Kau adalah salah satu anakku, dari sekian banyak anak-anakku. Aku berharap kau bahagia di kemudian setelah mendapatkan apa yang menjadi hakmu," dengan senyuman lebar Sang Ketua menatap A Ling sambil memegang tangannya.

Bagi A Ling, Sang Ketua bukan hanya sebagai wali tapi dia adalah pengasuh  dan pelindungnya setelah ditinggalkan kedua orangtuanya. Makanya, apa pun hal penting yang perlu dibicarakan maka A Ling akan berbicara dengan orang yang paling berpengaruh di kalangan orang Cina di Batavia itu.

Siang itu, Bank Batavia tidak banyak dikunjungi oleh nasabah. Hanya ada beberapa orang yang menunggu di ruang tunggu. Mereka mengantri untuk melakukan transaksi di loket. Sedangkan A Ling dan Sang Ketua berada di ruangan yang bersebelahan dengan ruang tunggu serta deretan loket. Dalam ruangan itu, tidak ada orang lagi selain mereka bertiga setelah petugas Bank Batavia undur diri dari ruangan.

Tuan Van De Meer berbicara panjang lebar tentang isi kotak deposit. Salah satu diantaranya pokok pembicaraan itu adalah urusan harta warisan berupa sebidang tanah di luar Kota Batavia. A Ling sendiri tidak ingat persis di mana letak tanah itu. Dia masih kecil ketika diajak berkunjung ke tanah perkebunan milik orang tua A Ling.

"Tanah itu disewa oleh perusahaan gula. Hasilnya masuk ke rekening atas nama milikmu," Sang Ketua tersenyum pada A Ling. Kumis tipis di wajahnya menambah kewibawaan pria Cina itu. Rambut panjang yang mengkilap seakan menandakan jika dia adalah pria berpunya. Ketika melihat rambutnya yang diuntun rapi pertanda jika laki-laki ini teguh memegang adat budaya meskipun hidup jauh dari tanah leluhurnya.

A Ling membaca dengan seksama lembaran surat tanah yang ada di hadapannya, "Ternyata tanahnya luas juga, ya."

"Tentu saja, ayahmu adalah  pendahuluku A Ling. Ketua Perserikatan sebelum aku. Dia panutanku dalam banyak hal."

Tuan Van De Meer menatap A Ling dan Sang Ketua yang sedang membicarakan masa lalu kedua orang tua A Ling. Sungguh pemandangan menyejukan bagi seorang pria paruh baya, "melihatmu ... aku teringat Anna. Anak Tuan Eickman, pemilik perkebunan di dekat Desa Pujasari."

"Oh, dia teman saya. Eee, bukan teman. Kami baru kenal."

"Hahaha, aku mendengar kalian berdua berkelahi di pinggir kanal."

"Aku jadi malu."

Gelak tawa terdengar menggelegar hingga ke ruangan lainnya. Pria bertubuh subur seperti Tuan Van De Meer tertawa lepas menertawakan kelakuan A Ling yang menurutnya konyol. Dia merasa lucu ketika kedua gadis yang berkelahi itu adalah klien utama notaris itu.

Setelah itu, entah apa lagi tema obrolan Tuan Van De Meer, Sang Ketua dan A Ling. Suara mereka terdengar menggelegar karena didukung oleh akustik ruangan itu. Dengan plafon tinggi berbentuk melengkung serta dinding berlapis pualam menambah gema siapa pun yang bicara di sana.

Namun, gelak tawa itu berhenti seketika.

A Ling menyaksikan sesuatu yang tidak terduga. Hatinya bertanya-tanya, kenapa ini terjadi di Bank Batavia dengan keamanan sangat ketat?

A Ling tidak bisa berbuat banyak ketika ada orang asing masuk ke dalam ruangan yang seharusnya tidak diperkenankan. Orang itu bukan petugas bank, bukan keluarga atau petugas keamanan. Jika dilihat dari caranya berpakaian, A Ling langsung mengerti jika dia bermaksud jahat.

Tanpa banyak berbasa-basi, orang itu langsung merebut lembaran surat tanah yang terletak di meja.

"Hei, siapa kau?" Tuan Van De Meer bertanya dengan nada tinggi.

Tapi, bukan jawaban yang didapatkan  malah sebuah pukulan telak ke kening pria Eropa itu. Takk! Dia jatuh tersungkur ke belakang.

Sang Ketua tidak tinggal diam ketika melihat gelagat tidak baik terjadi di hadapannya. Pria Cina itu bermaksud merebut surat tanah yang sudah dipegang tangan pria bertopeng di hadapannya. Tetapi, itu tidak berhasil ketika sebilah pisau malah melukai tangannya.

"Arghh!" teriakan Sang Ketua cukup kencang terdengar oleh A Ling.

A Ling sendiri tidak bisa berbuat banyak. Dia malah menatap tajam mata orang itu. Tidak lama, hanya beberapa detik. Orang itu langsung berlari kencang ke luar ruangan. Pergi.

Dalam pikiran gadis itu, ada hal terlintas ketika dia melihat penyusup itu memasukan surat tanah yang dicurinya ke dalam sebilah bambu. Bilah bambu dengan tali di kedua ujungnya.

Ternyata, orang itu ...

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang