Anna tiba di pasar, seperti biasanya tempat itu begitu ramai. Pasar menjadi tempat paling ramai di Batavia. Setidaknya dari pagi hingga siang.
Dari atas pelana kuda, Anna memperhatikan satu per satu orang yang berdiri ataupun duduk di tempat yang dikhususkan untuk bertemunya penjual dan pembeli itu. Namun, bola mata kecokelatan yang dimiliki gadis itu sulit menemukan apa yang dia cari. Hanya ada orang-orang yang tampak asing baginya.
Laki-laki berbaju pangsi dengan celana hingga di atas mata kaki lebih sering dilihat oleh Anna. Warga pribumi tanpa alas kaki nampak lebih banyak dibandingkan orang Cina dengan baju berwarna cerah apalagi orang Eropa dengan baju berwarna terang.
Ke mana dia, seharusnya aku datang lebih pagi. Gadis itu tiba di sana ketika matahari mulai menyengat kulit. Untung saja wajahnya terlindungi topi laken dengan tepi bundar yang mampu menghalangi panasnya sinar matahari. Ah, aku telat datang ke tempat ini.
"Hei, Nona! Ada yang kau cari?"
"Ya, Paman."
"Mencari apa? Baju wanita?"
"Oh, bukan. Saya mencari Panca."
"Mmm, Raden Panca ... mungkin dia ada di rumah makan Cina. Di pecinan."
Oh, aku baru ingat.
Anna langsung meninggalkan tempat itu. Tanpa berbasa-basi, gadis itu langsung meninggalkan tempat paling becek yang pernah dikunjunginya.
Tuk tak tuk tak ...
Kaki-kaki kuda menghentak jalanan berlapis batu. Bagi yang belum mengenal dirinya, umpatan mungkin saja keluar dari mulut. Betapa tidak, gadis itu tidak peduli dengan kecepatan laju kudanya ketika berlari. Alhasil, kaki-kaki hewan tunggangan itu menginjak jalan becek sehingga cipratan lumpur bisa mengenai orang yang sedang duduk atau berdiri di pinggir jalan.
"Hei! Pelan-pelan lah! Dasar tidak punya adab!"
Dan, Anna tidak peduli dengan umpatan itu. Bagi Anna, hari ini dia harus segera menyelesaikan masalah yang belum terselesaikan. Dan, jangan sampai masalah kecil membuang waktu dan tenaganya.
Kuda pun melaju melewati deretan gedung berdinding kusam. Nampak sekali jika pemiliknya malas merawat dinding-dinding gedung itu. Atau, memang begitulah warna temboknya sejak dibangun. Anna tidak tahu kenapa banyak gedung di Batavia tidak terlihat lebih berwarna dari jalan raya di depannya. Hanya sedikit lebih terang.
Namun, kesan itu berubah ketika dia melihat sebuah bangunan yang baru terlihat kini. Warna dinding luarnya begitu cerah. Banyak ornamen khas Cina menghiasi bangunan itu. Lampion bergelantungan di antara pilar-pilar kayu berbentuk tabung.
"Hoeeee ...."
Si kuda menghentikan langkahnya di depan bangunan itu. Dia langsung turun kemudian melangkah masuk ke dalamnya. Dengan langkah tergesa, Anna langsung menemui seseorang yang dikenalnya.
"A Ling, kau tahu di mana Panca berada?"
A Ling tidak segera menjawab. Dia tidak suka dengan sikap gadis Eropa itu. Dasar gadis tak punya tatakrama.
"Baiklah. Sebelumnya aku minta maaf, apa yang kulakukan padamu memang keterlaluan."
A Ling tidak mau menanggapi permintaan maaf dari Anna. Gadis Cina itu malah menyibukan dirinya dengan melayani seorang pelanggan yang sudah duduk di bangku diantara deretan meja-meja yang masih kosong.
"A Ling, sekali lagi aku mohon maaf. Jika kau merasa dirugikan, aku akan mengganti rugi ... kalau perlu biaya pengobatanmu akan aku ganti."
A Ling tetap tidak mau menggubris. Ketika Anna mencoba merogoh sejumlah uang di rangselnya, A Ling malah menatap tajam wajah Anna.
"Aku tidak membutuhkan uangmu."
Anna menatap A Ling.
"Kau pikir semuanya bisa diganti dengan uang. Tidak."
"Ayolah, kau jangan menyulitkanku."
"Menyulitkanmu? Bukankah kau menyulitkan kami? Jangan mentang-mentang kau orang Eropa ... kau bisa seenaknya memperlakukan orang-orang seperti kami."
"Oh, jadi kau tersinggung karena itu. Ingat, kami yang berkuasa di negeri ini."
Anna sulit mengendalikan emosinya ketika dia disinggung masalah ras. Dia tahu ini masalah yang sensitif ketika dibahas dengan orang-orang di sekitarnya. Tapi, baru kali ini ada orang yang berani mengatakan itu terang-terang di depan mukanya.
"Lalu kenapa jika kalian berkuasa di negeri ini? Kalian bisa seenaknya menembak kami tanpa alasan yang jelas? Kalian, orang Eropa, terlalu sombong sehingga tidak menyadari ... jika kalian hidup di negeri orang ...."
Anna mengepalkan tangannya. Dia mencoba menahan emosi.
"Ingat Nona, orang-orang pribumi bisa saja mengusir kalian dari negeri ini. Itu karena sikap kalian sendiri."
"Tidak mungkin. Kami terlalu kuat buat mereka."
"O ya? Jika kalian merasa kuat ... lalu kenapa kau begitu ketakutan ketika barang berharga milik keluargamu dicuri oleh mereka ...?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
ActionAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...