"Paman Wira, maksud ini semua apa?" Panca bertanya seakan tidak mengerti apa yang tengah terjadi.
"Paman, kami datang ke sini dengan baik-baik. Kenapa mereka harus dilibatkan?" Anna berdiri dengan memasang kuda-kuda. Senapan di tangan siap digunakan.
"Kalian datang bukan untuk mencari Raden Aditama kan? Kalian datang untuk mencari aku kan?"
"Kenapa harus mencari Paman. Kami tidak punya kepentingan dengan Paman Wira." Anna menjawab dengan suara lantang.
"Ah, aku menyesal tidak membunuhmu ... gadis sombong!"
"Oh jadi benar, kau yang kemarin menyerangku! Sungguh keji!"
Anna dan Panca berdiri saling membelakangi. Mereka berdua dikelilingi laki-laki bertopeng sehelai kain. Sorotan mata orang-orang itu begitu haus akan darah. Tangan kanan mereka siap memenggal kepala siapa saja yang berani melawannya. Sebilah golok, clurit dan pisau dijadikan senjata untuk melukai 2 anak remaja yang berani datang menghampiri mereka.
"Aku juga menyesal tidak menembak jantungmu! Sayang, hanya jemari tanganmu yang terkena peluru!"
"Hei, andai saja kalian berdua tidak dilindungi Aditama, aku sudah mengubur kalian sejak kemarin!"
"Jangan terlalu banyak bicara, kembalikan apa yang telah kau curi dari rumahku!"
"Apa? Aku tidak mencuri apa-apa darimu!"
"Bohong!"
"Hei, siapa kamu, aku pun baru mengenalmu! Memangnya apa yang kau punya!"
"Kau kan yang mencuri surat tanah dari perkebunan keluargaku?"
"Hahahahaha! Aku tidak suka mencuri barang dari tempat yang jauh!"
"Kembalikan saja, jangan berbohong. Setelah itu kita berdamai. Aku tidak akan melaporkan perbuatanmu pada polisi."
"Hei, sudah kukatakan aku tidak mencuri di rumah perkebunan. Perkebunan mana? Perkebunan kelapa? Di sini kelapa tidak ada pemiliknya!"
"Jangan berbelit, kau datang beberapa hari lalu ke perkebunan ayahku, Tuan Eickman."
"Aku tidak mengenal Tuan Eickman. Lagipula di mana itu? Buat apa aku mencuri di tempat sejauh itu? Di Batavia banyak orang yang kaya, mungkin jauh lebih kaya dari ayahmu. Lagipula aku tidak punya kuda untuk berkendara ke sana."
Anna mendengar kalimat yang meyakinkan dari Wira. Aku salah sangka, ternyata dia bukan pencuri surat tanah keluargaku. Mungkinkah orang lain yang melakukan itu?
Wira tidak ingin membuang waktu. Seperti seekor serigala yang tidak perlu susah mencari mangsa, Wira senang karena kedua anak remaja itu datang ke sarangnya. Dengan anak buah yang siap menerima perintah, Wira memberikan aba-aba dengan mengangkat tangan kanannya.
"Sekarang!"
...
Daun nyiur yang melambai menjadi saksi bagaimana perkelahian antara anak manusia itu terjadi. Angin yang bertiup kencang seakan menyemangati mereka untuk segera menyelesaikan tugas. Menghabisi apa yang harus dihabisi. Mengakhiri apa yang harus diakhiri.
Mata-mata mereka saling tatap satu sama lain. Tatapan nanar penuh kebencian.
Ketika niat untuk menghilangkan nyawa sudah terpatri dalam hati maka niat itu sulit untuk ditarik kembali. Pikiran pun dipenuhi kebencian. Senjata yang seharusnya menjadi benda tak berdosa tetapi kali ini senjata seakan diberi nyawa.
Sebilah golok bisa melayang seakan tanpa dibimbing menuju bagian tubuh mana pun yang bisa lumpuh. Pisau pun terlempar ke arah mana saja ketika udara tidak menghalanginya untuk menghujam benda-benda di depannya.
Siuutt!
Suara desingan pisau yang melayang terdengar oleh telinga.
Huuuuk!
Suara sabetan golok begitu jelas di telinga karena benda itu jaraknya tidak lebih panjang dari jari telunjuk. Begitu dekat.
...
Wira hanya berdiri menyaksikan keberingasan anakbuahnya yang bernafsu menghabisi 2 anak remaja itu. Hatinya menahan kesabaran untuk tidak turun tangan melakukan pekerjaan remeh temeh. Dia tidak ingin darahnya dikotori oleh darah 2 bocah yang terlalu berani menghampiri tempatnya bersembunyi.
Namun, Wira pun masih sulit percaya ketika lebih dari sepuluh pria dewasa yang memegang senjata tidak bisa melumpuhkan 2 remaja yang hanya bersenjatakan senapan sebagai penangkal serangan. Ternyata mereka berdua sulit dilumpuhkan.
Panca dan Anna seakan pasangan menari yang serasi. Senapan laras panjang yang belum sempat terisi peluru dijadikan tongkat untuk menahan serangan yang bertubi-tubi.
Kaki anak remaja itu bergantian memberikan tumpuan. Sedangkan kaki yang lain digunakan untuk melangkah ke depan, menyerang lawan.
...
Anna dan Panca lebih dari cukup dalam belajar beladiri. Tubuh mereka nampak luwes ketika diajak bergerak ke sana ke mari. Matanya pun jeli melihat gerak-gerik lawan-lawan mereka.
Tetapi, ini perkelahian yang tidak berimbang. Tenaga kedua remaja itu mulai terkuras.
Gerombolan bertopeng itu mendesak mereka hingga tersudut ke arah pohon kelapa yang tumbuh tegak di sebelah kanan beranda rumah. Tidak ada tempat untuk menghindar.
"Hahaha, menyerahlah kalian terpojok!" Wira berteriak memberikan pilihan.
Kedua remaja itu tidak menjawab. Senapan tidak cukup untuk menghadang serangan. Panca membutuhkan tongkat yang lebih panjang agar bisa menahan sabetan golok dan clurit.
Ting!
Dalam pikiran Panca terbersit ide untuk menggunakan sesuatu yang ada di dekatnya sebagai senjata. Panca pun meraih tangan Anna kemudian menariknya ke arah sampan yang teronggok. Hanya membutuhkan 2-3 langkah untuk meraih dayung yang tertancap di dekat sampan itu.
Hep!
Kala dayung itu diraih, dengan kecepatan tinggi diayunkannya benda itu ke arah musuh yang mencoba menusuk dengan pisau yang terhunus.
Prak!
Dayung dan pisau itu pun beradu. Pisau terbang melayang, berputar hingga mendarat tepat di depan kaki Wira. Untung saja dia bisa menghindar. Kalau tidak, kakinya bisa tertusuk.
Perkelahian pun semakin sengit. Panca seakan memiliki amunisi baru. Dia leluasa mengayunkan dayung itu ke setiap arah manapun yang diiginkan. Dan, para penyerang itu sulit menembus pertahanan kedua remaja itu.
Ketika serangan datang bertubi-tubi, tiba-tiba ...
Dor!
Ada tembakan terdengar entah datang darimana.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
ActionAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...