Anna menatap gambaran dirinya di cermin. Gadis itu tersenyum sendiri sembari berlenggak-lenggok. Dia memutar tubuhnya bermaksud memastikan pakaiannya rapi, tetapi dia malah berputar-putar menari layaknya seorang gadis yang senang dengan apa yang dimilikinya.
Sebuah topi bertengger di kepala, rambut pirang keemasan yang dikepang serta kemeja putih hingga lengan mengubah penampilan sehari-hari Anna. Kini, gaun panjang digantikan oleh celana cokelat lengkap dengan sepatu but kulit lembu di kaki.
"Sudahlah, dandannya. Hari sudah siang. Ayah berharap kau tidak kemalaman di jalan" Tuan Eickman menggoda anak gadisnya yang sering berlama-lama berdandan.
"Ah, Ayah."
"Ada yang ketinggalan?"
"Eee ... tinggal ini dan ini," Anna berjalan ke arah dinding ruang tengah mengambil tas rangsel dan senapan.
"Kau mengingatkan Ayah kala dahulu masih suka berburu."
"O, ada bedanya?"
"Apa?"
"Aku yakin rambut Ayah tidak bisa dikepang seperti aku ...." Anna tersenyum genit sambil menunjukan kepang rambutnya yang menjuntai hingga pinggang.
Tuan Eickman hanya tersenyum menyaksikan anak gadisnya. Satu sisi dia merasa bangga, di sisi lain pria itu merasakan kekhawatiran jika harus memberinya tugas sendirian.
"Kau yakin, kau tidak mau ditemani oleh ...."
"Sssst. Ayah, aku sulit percaya pada mereka. Aku merasa lebih tenang jika pergi sendirian."
"Baiklah, kalau begitu. Ayah mengerti. Berhati-hatilah ...."
Anna mengangguk kepala, dia memeluk ayahnya dan mencium pipinya. Gadis itu berjalan dengan langkah tegap menuju pekarangan rumah. Rambutnya bergoyang-goyang di balik tubuhnya yang semakin tinggi, sebagaimana wanita Eropa dengan darah murni.
Di sana, telah menunggu seekor kuda yang sudah siap untuk dibawa pergi ke mana saja. Selayaknya semua kuda tunggangan, hewan itu meyiapkan punggungnya untuk diduduki dan kakinya berlari. Kuda jantan berwarna hitam kecokelatan dengan kaki-kakinya yang kokoh menghujam tanah. Tubuhnya memanjang dari mulut hingga ekor bisa mempesona orang-orang yang melihatnya.
Bagi ukuran seekor hewan, kuda itu begitu tampan dan gagah. Ditambah, seorang gadis menjadi penunggang di atasnya. Suatu pemandangan yang langka. Perempuan memakai celana dan bertopi serta memikul senapan menunggang kuda yang gagah dengan warna bulunya yang mengkilat diterpa sinar matahari.
"Huss, hia!"
Tuk tak tuk tak ....
Anna langsung memicu si kuda untuk berlari kencang. Awalnya, para pekerja di perkebunan masih bisa melihat punggung gadis itu kala menyusuri jalan keluar dari areal perkebunan. Lama-kelamaan sosoknya tenggelam ketika berangsur menuruni bukit. Dia menuju ke batas tanah antara perkebunan dengan tanah milik penduduk desa tetangga. Sebuah sungai kecil membatasi kedua tempat itu. Kuda itu pun sampai pada jembatan kecil di atas sungai. Kemudian, dia berlari menuju jalan desa berbatu.
"Hia!"
Kini Anna menyusuri jalan desa berbatu dan berdebu. Waktu sepagi itu hanya ada beberapa pedati dan kuda tunggangan yang menggunakan jalan itu. Di kanan jalan, terlihat hamparan kebun teh laksana karpet hijau yang menyelimuti punggung bukit. Dihiasi topi-topi pekerja dimana di mata seperti titik-titik putih yang bergerak-gerak.
Di kanan jalan, kontur tanah di daerah itu lebih menanjak. Bukit-bukit kehijauan dari warna daun sayuran dan singkong serta beberapa pohon-pohon besar. Bagi Anna, pemandangan ini tidak selalu dilihatnya setiap hari. Gadis itu lebih banyak berada di perkebunan milik ayahnya. Bermain-main dengan hewan peliharaan atau berlatih menembak dan beladiri. Selebihnya, belajar bahasa, ilmu hitung dan mengkaji Alkitab.
Kini, Anna menyiapkan fisik dan mental untuk menghadapi berbagai kemungkinan yang akan terjadi di depannya. Matanya, memandang lurus ke depan. Dia berharap tidak ada gangguan. Tetapi, harapan itu tidak selalu sesuai dengan kenyataan.
Baru beberapa menit dia menyusuri jalan desa itu, sudah ada hambatan kecil di depannya. Dari jarak puluhan meter, mata gadis itu bisa melihat seekor musang yang sedang asyik memangsa buruannya.
"Krrr ...."
Tali kekang ditarik. Si kuda mengurangi kecepatan langkahnya. Perlahan hewan tunggangan itu menyusuri jalan.
Mata Anna masih tertuju pada musang di tengah jalan. Apakah musang itu tidak mendengar suara langkah kaki kuda atau dia begitu asyik menguliti hasil buruannya. Sepertinya seekor ayam hutan menjadi sarapannya pagi itu. Terlihat jelas ekor burung itu yang berserakan terpisah dengan dagingnya.
Anna tidak mau menganggu kenikmatan si musang. Dia sangat tahu bagaimana rasanya diganggu jika sedang menikmati hidangan di meja makan. Mata gadis itu tetap tertuju pada punggung dan ekor si musang.
Dor!
Tiba-tiba terdengar suara tembakan.
Anna kaget, begitu juga dengan si kuda.
Dengan sigap Anna meraih pangkal senapan. Dia mengarahkan senjata itu ke segala arah sembari mencari sumber suara tembakan.
Ah, kasihan sekali dia. Mata Anna tertuju pada si musang yang sudah tergeletak di tengah jalan. Sepertinya dia mati ditembak.
Benarkah musang itu yang menjadi sasaran ... atau ... aku?
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
ActionAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...