35

71 22 0
                                    

Tuan Van De Meer duduk di kursi sambil meminum teh hangat. Matanya menatap ke arah taman. Air hujan masih berjatuhan menghantam dedaunan lebar di taman itu.

Bagi Tuan Van De Meer, hujan besar di siang hari bisa menjadi penghalang bagi kelancaran pekerjaannya. Menjadi seorang notaris, keleluasaan bergerak menjadi hal penting. Jika hujan seperti saat ini, dia lebih suka berdiam di rumah sambil menyeruput teh hangat di teras rumah.

Ada bagusnya juga sang istri rajin menanam tanaman yang menghiasi pekarangannya yang tidak terlalu luas. Ketika hujan mengguyur Batavia, tetesannya yang mengenai dedaunan menambah keromantisan suasana rumahnya. Udara yang seperti bau tanah bercampur dengan harumnya bunga-bunga yang bermekaran.

"Lihatlah, cocok kan?" Nyonya Van De Meer meminta pendapat suaminya tentang sesuatu di depan matanya.

"Oh, sayang ... kau terlihat cantik."

"Terima kasih, Tuan."

"Sudah kubilang bajunya cocok denganmu, Anna." Nyonya Van De Meer tersenyum sumringah pada Anna yang berdiri di hadapannya.

Anna dan Nyonya Van De Meer menghampiri Sang Tuan dari arah pintu utama. Anna datang dengan pakaian bersih. Lebih baik dibanding sebelumnya. Sebuah gaun berwarna putih dikenakan gadis berambut pirang itu.

Wajah Anna terlihat memerah, bercampur perasaan malu sekaligus senang. Ketika gadis itu merasa sendiri di Batavia, ternyata masih ada orang yang menyambutnya dengan penuh kehangatan.

Pasangan suami-istri itu begitu senang ketika menyaksikan Anna mengenakan baju peninggalan anaknya. Anna terlihat cantik dan tentu saja lebih segar.

"Saya mengucapkan banyak terima kasih karena Tuan dan Nyonya sudah menerima saya di sini."

"Sayangku, kau seperti keluarga buat kami."

"Ya, sekarang kami hanya tinggal berdua. Sepasang orang tua yang berharap bisa menghabiskan hidup bersama."

"O, kau terlalu melankolis," Nyonya Van De Meer memegang tangan suaminya sambil tersenyum.

Anna memperhatikan dengan haru sepasang suami-istri di hadapannya. Tanpa diundang, setetes air membasahi pelupuk mata gadis itu.

"O, sayang. Kau kenapa?"

"Ah, saya hanya teringat pada suasana yang sudah lama tidak saya rasakan. Berbincang bersama Ayah dan Ibu di teras rumah seperti ini."

Nyonya Van De Meer memeluk Anna. Tangan Tuan Van De Meer pun mengelus punggung gadis itu. Mereka berdua memberikan sokongan bagi mental Anna yang sedang terguncang.

"Tuan ... Nyonya, saya merasa takut."

"Takut kenapa?"

"Saya takut jika ... saya pun harus kehilangan Ayah. Perasaan takut ini sama dengan perasaan ketika saya kehilangan Ibu."

"Oh, sayangku."

"Itu juga alasan saya untuk datang ke sini. Saya harus menyelamatkan apa yang tersisa dari keluarga kami."

"Ya, aku mengerti. Percayalah, aku akan berusaha agar apa yang kau inginkan segera terwujud. Meskipun, sejujurnya, itu bukan hal mudah."

"Saya mulai merasa jika ada orang yang menginginkan kami pergi dari tanah itu. Harta keluarga kami yang kami andalkan untuk menopang hidup."

Anna menatap lurus ke arah taman. Tetesan air berjatuhan dari pucuk-pucuk dedaunan yang menghijau di taman itu.

"Saya tahu, tanah itu memang sangat luas. Mungkin sekali ada yang menginginkannya. Di Hindia Belanda, memiliki tanah seluas itu bisa menjadi sumber penghidupan yang menjanjikan." Tuan Van De Meer kembali menyeruput teh di cangkir.

"Ya, baru sekali saya melihat tanah milik seseorang seluas itu," Nyonya Van De Meer menimpali.

"Terus terang, saya merasa belum siap mengelola perkebunan sendirian jika ... terjadi sesuatu pada Ayah."

"Hei, percayalah jika Tuan Eickman akan kembali sembuh."

"Tadi, saya bertemu salah satu dari mereka. Mereka terang-terangan meminta kami untuk angkat kaki dari perkebunan."

"Benarkah?"

"Ya, semoga polisi bisa segera menyelesaikan masalah ini. Karena kesaksian mereka begitu penting untuk penerbitan surat tanah yang baru. Saya sangat berharap pada Tuan."

Tuan Van De Meer menganggukan kepala. Nampak sekali dari wajahnya jika dia berpikir keras.

"Dalam waktu dekat, saya harus menemukan kembali surat tanah yang hilang itu."

"Tapi itu berbahaya, sayangku."

"Saya tahu, Nyonya. Tapi, apakah ada cara lain agar kami tidak terusir dari tanah itu?"

Nyonya Van De Meer tidak menjawab pertanyaan Anna. Dia terdiam, sulit menemukan jawaban.

Mereka bertiga terdiam.

Tuan Van De Meer menghela nafas panjang. Istrinya memeluk Anna yang memejamkan mata sambil menengadah ke langit-langit.

Rintik hujan terdengar mulai mereda. Suaranya yang berisik berubah menjadi gemericik. Air yang berjatuhan ke atas genting kini tidak terdengar lagi suaranya. Rumah bergaya Indo-Eropa itu kini tidak harus menanggung beban untuk memberikan naungan bagi pemiliknya. Talang air yang terpasang di sisi atap kini tidak lagi mengalirkan derasnya air.

"Permisi, permisi, Tuan dan Nyonya!"

Anna yang terpejam seketika terperanjat oleh suara panggilan dari pintu pagar. Begitu juga dengan si empunya rumah, mereka berdua melihat ke arah pinggir jalan dan memperhatikan dengan seksama siapa yang datang.

Untuk apa dia datang ke sini? Batin Anna bertanya-tanya.

"Nona, Nona Anna ... sepertinya aku tahu siapa pencuri benda milik keluargamu!"






Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang