Panca menyaksikan sesuatu yang tidak biasa di Kampung Nelayan ini. Jarak rumah yang renggang antar tetangga seakan disengaja. Setiap rumah dibangun diantara pohon-pohon kelapa yang tumbuh subur di sana.
Setiap penghuni rumah tidak bisa tahu begitu saja apa yang dilakukan tetangganya. Bahkan, diantara mereka belum tentu bisa saling sahut. Saking jauhnya.
Begitupula dengan rumah Wira dan keluarganya. Membutuhkan jalan kaki hingga puluhan langkah untuk sampai di tetangga terdekat.
Panca membandingkan dengan deretan rumah di tempat tinggalnya, Desa Pujasari. Di sana, rumah berderet dan berdekatan antara satu dengan yang lainnya sehingga seseorang bisa tahu apa yang terjadi di dalam rumah tetangganya jika jendela terbuka lebar. Persamaannya, rumah-rumah di tepi pantai ini pun berupa rumah panggung yang berbahan dasar bambu dan kayu. Hanya saja, rumah-rumah ini dibangun lebih tinggi untuk menghindari air pasang.
Dan, hal yang membuat Panca semakin bertanya-tanya ketika dia memperhatikan anak laki-laki yang sedang bermain di pekarangan rumah Wira. Anak itu bermain hanya sendirian. Kemana teman-temannya?
"Rumah Paman ini ... paling ujung, ya?" Anna bertanya sekedar memastikan.
"Ya, paling ujung. Jika kita berjalan ke barat terus ke barat, tidak ada lagi rumah. Mungkin kita akan menemui rumah di Banten. Jauh sekali."
"Kalau ada apa-apa, orang lain belum tentu tahu ya. Saking tidak ada lagi rumah setelah rumah ini."
"Ya, begitulah."
"Jika Paman pergi atau datang dari suatu tempat pun, orang lain belum tentu mengetahuinya."
"Sepertinya begitu."
"Nyaman sekali untuk bersembunyi."
"Bersembunyi dari apa? Saya tidak mengerti, Nona."
"Misalnya, bersembunyi dari kejaran polisi."
Wira mulai tidak nyaman dengan nada bicara Anna yang menyindir. Apalagi warna muka gadis itu semakin terlihat tidak ramah. Sejak semula bertemu, Wira bisa menghitung berapa kali remaja peranakan Eropa itu tersenyum. Tidak lebih dari jumlah jari di tangannya.
"Maksud teman saya ...." Panca menyela pernyataan Anna.
"Tidak perlu dijelaskan, Raden. Saya mengerti kenapa Nona Anna berkata seakan saya ... orang pribumi ... adalah pihak yang senantiasa buruk di matanya."
Anna duduk di dipan, tepat di belakang Panca. Gadis itu tidak mau berhadapan langsung dengan si empunya rumah. Dia mulai sulit menyembunyikan bagaimana isi pikirannya.
"Jika Paman tidak bersalah, kenapa Paman merasa tersudutkan?" Anna kembali menyindir Wira, masih dengan tatapan jauh ke laut lepas.
"Saya hanya rakyat kecil, tidak berani berbuat sesuatu yang melawan hukum. Jadi, kenapa harus membicarakan polisi di sini."
Panca mulai melihat kekalutan pada wajah orang di depannya. Sepertinya dia menyembunyikan sesuatu?
"Maaf, Paman. Mari kita bicara hal lain. Maafkan jika perkataan teman saya ini menyinggung," Panca menghela nafas, "kalau boleh saya tahu, warga yang lain ke mana ya? Dari tadi saya tidak melihat orang lain selain anak dan istri Paman?"
"Mereka melaut."
"Termasuk wanita dan anak kecil?"
"Ya, tentu saja."
"O, Paman sendiri kenapa tidak melaut?"
"Tangan saya masih sakit."
"O, begitu. Bukan karena tidak ada yang meminta Paman bekerja lagi?"
"Itu, juga."
Anna masih membisu. Panca menoleh ke arah gadis itu. Mereka saling pandang dan menganggukan kepala.
"Eee, Paman ... kalau begitu ... kami pamit mau pulang. Maaf bila mengganggu."
"Kenapa harus terburu-buru, kan kalian bisa berlama-lama di sini."
Anna beranjak dari duduknya. Panca pun mengangkat pinggangnya, duduk lebih tegak karena kaget.
Satu, dua terus bertambah menjadi lebih banyak orang yang berdatangan. Dari belakang rumah Wira tiba-tiba saja berdatangan pria-pria dewasa dengan postur tubuh beragam. Ada yang bertubuh tinggi bahkan ada yang cebol. Hanya satu hal yang sama diantara mereka, semuanya menutup mulut dan hidung mereka dengan sehelai kain hitam.
"Paman, katanya ... warga di sini sedang melaut. Tapi ...."
"Tenang, Raden. Mereka hanya ingin berkenalan," Wira bicara sambil menyeringai.
Sial, kita dibohongi. Anna menggerutu dalam hatinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
ActionAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...