27

78 21 1
                                    

Nyonya Van De Meer meninggalkan ruang tengah dan membiarkan suaminya berbicara berdua dengan Anna. Dengan wajah penuh rasa penasaran, wanita itu terpaksa beranjak dari kursi kayu di ruangan berornamen klasik itu. Sebenarnya dia ingin sekali mendengar pembicaraan Tuan Van De Meer dengan Anna, tetapi dia tahu jika Anna bukan membicarakan masalah keluarga. Anna mulai bicara hal-hal yang berhubungan dengan pekerjaan si suami.

"Tadi bujang di rumah ini melihat kalian bertengkar di pasar. Setelah kau bicara tentang apa yang terjadi di rumahmu, saya mulai paham kenapa kalian bertengkar."

Anna hanya menunduk di depan Tuan Van De Meer. Dia merasa seperti seorang gadis yang sedang dinasehati ayahnya.

"Saran saya, sebaiknya kau tidak terburu-buru menuduh anak itu macam-macam. Wajar jika dia disegani banyak orang, bagaimana pun anak itu masih keturunan bangsawan. Dan, asal kau tahu ... di Batavia, anak itu begitu terkenal. Koran Batavia pernah memuat foto dan beritanya. Semua lapisan warga sepertinya tahu siapa dia."

"Pantas saja, dia bisa menghentikan perkelahian begitu saja."

"Ya, anak itu didukung oleh banyak pihak. Warga Arab, Cina dan tentu saja orang Sunda. Bahkan para pejabat Batavia berhubungan baik dengannya. Anak itu bak pahlawan di sini."

"Seperti itukah?"

"Ya, bisa dibilang dia anak yang harus diawasi gerak-geriknya."

"Apakah gerak-geriknya mencurigakan?"

"Sejauh ini ... sepertinya tidak. Polisi pun memperlakukannya istimewa."

"Jika Panca begitu istimewa, sangat mungkinkah dia menggunakan keistimewaannya itu untuk melakukan kejahatan?"

Tuan Van De Meer menatap Anna. Sebegitukah rasa curiganya pada Panca.

"Kita tidak bisa menyimpulkannya begitu. Mungkin sekali orang yang menyatroni rumahmu tidak ada hubungan apa pun dengan anak itu. Apa yang kau tuduhkan hanya sebuah kebetulan."

"Jika apa yang saya tuduhkan itu benar, bagaimana?"

"Terus terang saya tidak tahu. Saya ini notaris, bukan polisi yang mengerti masalah ini."

"Maaf Tuan, saya bicara terlalu banyak dengan Tuan."

"Oh, tidak apa-apa, Sayang. Kita ini sudah seperti keluarga. Dan, apa yang kau rasakan juga sama-sama dirasakan oleh orang Eropa lainnya. Kita hidup di negeri orang, wajar perasaan serba curiga itu merasuki pikiran."

Tuan Van De Meer menyeruput teh di cangkir, tangan kanannya memegang cangkir tetapi tangan kirinya hendak menyalakan sigaret. Dia meraba-raba saku mencari benda itu. Tapi dia tidak menemukannya.

"Bukankah Tuan sudah lama tidak merokok?"

"O, aku lupa."

Anna tersenyum dengan kelakuan pria paruh baya di hadapannya. Kebiasaannya sulit dihentikan sehingga tanpa sadar syaraf-syarafnya masih menganggap rokok menjadi benda wajib di kehidupannya.

Anna memandang ke arah jam sebesar lemari yang terus mengayunkan bandulnya. Jam itu berdiri tegak di sudut ruangan dengan memamerkan warna tubuhnya yang gelap. Detik demi detik seakan memaksa gadis itu untuk segera menyelesaikan urusannya. Orang di hadapannya sudah berdandan dengan jas warna salem, berarti dia sudah harus kembali berangkat ke kantornya. Dan, Anna mulai tidak enak hati karena harus menyita waktu salah satu notaris berpengaruh di Ibu Kota.

Untung saja Anna berkenalan akrab dengan pasangan Van De Meer, dia bisa dijamu sebagai tamu sekaligus sebagai keluarga. Meskipun keluarga tanpa ikatan darah. Hanya ikatan kebangsaan yang menyatukan mereka. Dan, tentu saja keluarga Anna adalah salah satu klien utama dari Tuan Van De Meer.

"Jadi, bagaimana Tuan ... apakah surat tanah milik ayah saya bisa kembali?"

Tuan Van De Meer menghela nafas panjang.

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang