Hari demi hari berganti ...
Batavia kala itu begitu cerah. Cuacanya lebih panas dari beberapa hari sebelumnya. Matahari memancarkan sinarnya yang menyengat hingga sampai ke kulit.
Tuan Van De Meer membuka topi yang berwarna krem kemudian dikibaskan ke wajah. Dengan matanya yang bulat, wajah tambun pria paruh baya itu mendongak ke atas. Dia tidak berani menghadap ke langit karena cahaya matahari menyilaukan mata. Orang itu lebih tertarik dengan sebuah tulisan besar di gedung berlantai tiga, Bank Batavia.
"Akhirnya, waktu ini tiba ...," Tuan Van De Meer bergumam.
Senyuman tersungging dari seorang petugas keamanan di depan gedung. Mungkin sekali senyumannya itu sebagai bentuk keramahan. Atau, dia merasa lucu melihat begitu banyak para nasabah yang bergumam sebelum masuk ke pintu utama bank.
"Oh, banyak sekali petugas jaga hari ini."
"Ya, Tuan. Kami meningkatkan standar keamanan."
"Baguslah, jangan sampai aku jadi korban lagi."
"Kami mohon maaf atas kejadian waktu itu."
Tuan Van De Meer meninggalkan petugas jaga itu dengan berjalan lebih cepat. Pria berseragam biru yang berdiri di depan pintu seakan sudah tahu bagaimana reaksi si nasabah ketika membicarakan aksi perampokan yang terjadi di Bank Batavia beberapa hari yang lampau.
Saat itu, Tuan Van De Meer menjadi korban perampokan barang berharga di tempat yang sama. Pria Eropa itu jatuh pingsan sehingga tidak bisa mengingat apa pun kecuali kejadian ketika dia didatangi orang bertopeng di ruangan khusus. Tuan Van De Meer hanya ingat ketika banyak orang mengerubuni tubuhnya yang tertidur di lantai.
Kini, dia masuk lagi ke tempat kejadian perampokan itu. Berharap perampokan itu tidak terjadi lagi.
Seorang petugas bank sudah menyambut dengan senyuman yang khas. Pria Eropa dengan usia setengahnya dari usia Tuan Van De Meer. Wajahnya oval dan berkulit bersih untuk laki-laki seusianya. Nampaknya dia jarang sekali terpapar sinar matahari. Bajunya berwarna biru muda, sangat kontras dengan siapa pun yang ada di sana. Pertanda jika dia orang penting.
Tangan si petugas bank dibalut sarung tangan berwarna putih bersih. Selalu bersih. Sekaligus berfungsi mengelap daun pintu yang jarang sekali dibuka karena pintu itu menuju ruangan khusus penyimpanan barang berharga.
Diikuti Tuan Van De Meer, si petugas berjalan tegap di koridor yang temaram. Tidak ada cahaya lampu menyinari kecuali sebuah ventilasi berukuran sangat kecil sebagai jalan masuk dan keluarnya udara.
Dan akhirnya, mereka berdua sampai di depan ruangan yang dimaksud. Di depan 2 pria itu berdiri kokoh sebuah pintu berukuran besar. Lebarnya lebih dari 2 meter. Sedangkan tingginya mencapai 3 meter. Sangat besar untuk ukuran kala itu.
Daun pintu ruangan ini tidak seperti daun pintu manapun atau di rumah siapa pun di Batavia. Bentuknya seperti kemudi kapal layar. Bundar serta dilengkapi 6 pegangan untuk memudahkannya berputar searah jarum jam.
"Silakan tunggu, Tuan," si petugas bank membungkuk sambil menunjuk lantai.
"Baiklah."
Kriittt ... Pintu berderit ketika dibuka setelah sebelumnya kunci berukuran besar dimasukan ke lubangnya. Dan terbukalah pintu besar itu, bahan logam pintu itu memberi kesan berat serta kokoh.
"Silakan masuk, Tuan."
Tuan Van De Meer pun masuk dengan ditemani oleh si petugas. Mereka berjalan diantara deretan lemari besi setinggi dinding.
"Silakan, Tuan."
Si petugas menunjuk salah satu kotak deposit bernomor 123. Tuan Van De Meer pun merogoh saku bajunya. Tangannya memegang sebuah kunci berwarna abu-abu perak. Kemudian memasukannya ke dalam kotak deposit yang dimaksud.
Kini, giliran si petugas yang memasukan kunci ke dalam lubang yang berdekatan. Ya, kotak itu bisa dibuka jika dibuka oleh 2 kunci yang berlainan. Satu lubang kunci untuk si nasabah dan satunya lagi untuk petugas bank.
Krrikkk ... Kotak deposit itu dibawa oleh si petugas dengan kedua tangannya. Mereka membawa serta kotak deposit itu keluar dari deretan lemari besi. Di dekat pintu logam ada jalan menuju ruangan khusus untuk orang yang membuka kotak deposit untuk diketahui isinya. Mereka berdua masuk ke ruangan itu.
Kotak deposit dibuka oleh Tuan Van De Meer. Sedangkan si petugas bank hanya menunggu di luar ruangan.
"Oh, waktunya telah tiba. Tinggal selangkah lagi."
Tuan Van De Meer memindahkan isi kotak deposit ke dalam tas jinjing kulit lembu berwarna cokelat. Dia tampak bahagia ketika menyerahkan kembali kotak deposit serta kuncinya kepada si petugas bank.
Setelah menyelesaikan masalah administrasi, Tuan Van De Meer berpamitan pada petugas bank. Pria bertumbuh tambun itu berjalan cepat menuju pintu utama. Keluar dari gedung Bank Batavia dengan wajah berseri, dia langsung menuju kereta kuda yang sudah siap di depan beranda.
Kereta kuda itu langsung berjalan ketika penumpangnya sudah membuka pintu. Tuan Van De Meer terhuyung ke kursi, dia tidak bisa mengikuti gerak si kuda yang terkesan terburu-buru.
"Ah, aku belum duduk!"
Pria itu marah pada si kusir. Tapi, wajah marah itu berubah menjadi heran dengan pemandangan di depannya.
"Hei, siapa kau?"
Orang yang ditanya tidak menjawab. Dia malah mendekatkan sebilah golok ke leher Tuan Van De Meer.
"Kau perempuan?" pria itu bisa melihat kulit tangan si penodong yang halus. Kuning langsat tangan kanannya jelas terlihat. Meskipun wajah orang itu tidak terlihat karena ditutup sehelai kain hitam. Hanya alis tebal nan rapih yang jarang dimiliki oleh siapa pun di Batavia terlihat menghiasi matanya yang cenderung bulat.
Si penodong meraba tas kulit lembu yang tergeletak di kursi kereta. Tangan kirinya bisa menemukan apa yang dia cari.
Tok!
Gagang golok menghantam kepala Tuan Van De Meer. Dia pingsan. Atau, pura-pura pingsan.
Tidak lama kemudian, si penodong memberi tanda dengan mengetuk langit-langit kereta. Dug dug! Si kuda pun berhenti berlari.
Tuan Van De Meer masih bisa melihat si penodong membuka pintu. Kemudian pergi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
AksiAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...