65

70 18 0
                                    

Panca selesai menunaikan sholat dzuhur ketika matahari mulai condong ke sebelah barat. Awan pun tahu jika orang-orang yang sedang bekerja di tanah Batavia membutuhkan kebijaksanaannya. Sinar matahari yang menyengat dihalangi oleh sang awan agar cuaca tidak panas seperti musim kemarau.

Pratiwi kembali mengajak sepupunya untuk berkeliling Batavia. Sama-sama mencari ayahnya Pratiwi, Raden Aditama.

"Sebelum hari gelap, aku harus menemukan ayahku," Pratiwi menegaskan kembali maksud keberadaannya di Batavia.

"Ya, aku tahu."

"Hei, kau merasa terpaksa ikut denganku? Jika kau tidak mau ikut, tidak apa-apa aku bisa sendiri."

"Ah, kau mulai seperti Anna. Merasa bisa melakukannya apa-apa sendiri. Padahal sebetulnya butuh sekali bantuan."

"Baguslah kalau kau mengerti."

Panca berjalan mendekati kudanya. Dengan enggan, kaki kanannya menginjak sadel dan kaki kirinya diangkat ke atas punggung kuda.

"Kita ke mana?" Pratiwi bertanya untuk memastikan tujuannya.

"Sebaiknya, kita kembali ke Kampung Nelayan itu."

"Tapi itu bahaya, kau yakin?"

"Aku yakin Paman Aditama tidak akan jauh dari sana."

Pratiwi menyetujui usulan Panca. Gadis itu bermaksud melecut tali kekang. Tapi, itu urung dilakukan karena ada sesuatu yang lebih menarik perhatian.

Mata Pratiwi dan Panca tertuju pada kereta kuda yang melintas di depan mereka. Sebuah kereta kuda dengan warna hitam mengkilap. Ditarik oleh 2 ekor kuda, dengan kusir berada di depan. Hal yang menarik perhatian Panca dan Pratiwi bukan kereta dan kedua kudanya. Tetapi, salah seorang penumpang di dalam kereta itu.

"Hei, kalian sedang apa di sini?"

Seorang gadis berteriak kencang dari dalam kereta. Tangan kanannya melambai ke arah Panca dan Pratiwi yang duduk di atas pelana. Dua remaja bersaudara itu balik melambaikan tangannya.

"Kau mau ke mana?" Pratiwi balik bertanya pada gadis di dalam kereta.

"Ke Bank!"

Tentu saja percakapan diantara mereka tidak berlangsung lama. Kereta kuda melaju kemudian menjauhi Panca dan Pratiwi. Hanya roda belakang saja yang nampak jelas terlihat serta jendela belakang yang masih memperlihatkan siapa penumpang di dalamnya.

"Ada apa ya A Ling pergi ke Bank?" Pratiwi ingin sekali tahu urusan sahabatnya itu.

"Ah, aku tak tahu. Itu bukan urusan kita."

"Tapi, siapa yang duduk bersama A Ling?"

"Sepertinya Sang Ketua?"

"Ketua?"

"Ya, ketua Serikat Orang Cina di Batavia. Pria itu ... bisa dianggap wali, A Ling."

"Oh begitu. A Ling kan anak yatim piatu. Jadi ...."

"Walinya Sang Ketua. Dia pengusaha kaya di Batavia. Penyumbang dana terbesar di Panti Asuhan tempat A Ling dibesarkan."

"A Ling dikelilingi orang-orang baik yang melindunginya. Alhamdulillah."

"Rumah makan tempat dia bekerja juga dianggapnya sebagai keluarga. Dia rela digaji kecil demi menemani sepasang suami istri pemilik rumah makan itu ... yang sudah tua."

"Aku paham, jika kita baik pada orang di sekitar kita maka kebaikan itu akan datang pada kita ...."

"Kau pintar juga. Aku pikir kau hanya pintar mengomel."

Panca melecut tali kekang. Si kuda berjalan pelan meninggalkan Pratiwi dan Si Nakula yang masih berdiri di pinggir jalan.

"Hei, jadi kau pikir selama ini aku gadis bodoh yang ...."

"Tuh, kan. Kau pintar mengomel."

Pratiwi menyusul Panca menyusuri jalanan. Mereka berjalan searah dengan arah kereta kuda yang membawa A Ling. Ini membuat heran Pratiwi yang menyusul Panca. Gadis itu merasa ini bukan rencana semula. Jalan ini mengarah ke tengah kota bukan ke arah pinggiran kota dimana Kampung Nelayan berada.

"Kenapa kita berjalan ke sini? Bukankah arah Kampung Nelayan sebaliknya?"

"Kita berjalan berputar. Aku tidak mau bertemu dengan komplotan penjahat itu di tengah jalan. Memangnya kau mau jika kita berkelahi dengan mereka?"

Pratiwi tidak menjawab pertanyaan Panca. Dia mengangkat alis tanda setuju dengan apa yang dipikirkan saudara sepupunya.

"Kita berjalan pelan saja, siapa tahu Paman Aditama berjalan ke arah ini."

"Bagaimana kau yakin?"

"Aku hanya mengira-ngira."

"Ah, aku pikir kau penuh pertimbangan."

"Hei, kau mau aku bantu atau tidak? Ikuti saja jangan banyak mengeluh."

"Eeeee ... aku penasaran. Apakah kau berlagak menjadi pemimpin seperti ini pada setiap orang?"

"Hahahaha ... asal kau tahu, Nyimas Pratiwi. Begitu mereka tahu jika aku seorang priyayi ... orang-orang di sekitarku menuruti perkataanku."

"Sombong ...."

"Bukan bermaksud sombong, tapi itu adalah anugerah yang diberikan oleh Alloh pada kita. Sebagai seorang priyayi, kita harus mempertanggungjawabkan keistimewaan itu. Untuk kebaikan ...."

"Oh, sejak kapan kau menjadi bijaksana seperti ini?"

Panca tidak mau menjawab pertanyaan sepupunya. Dia mulai lelah karena terus disanggah.

Kuda yang ditunggangi terus berjalan pelan menyusuri jalanan. Hingga, mereka bertemu dengan rombongan pedagang yang memikul barang dagangannya. Hasil bumi berupa buah-buahan dan umbi-umbian memenuhi pikulan. Setelah dekat dengan Panca dan Pratiwi, pedagang itu tersenyum sambil merundukan badan kemudian menyapa, "Raden Panca ...."

Panca tersenyum dan merundukan kepala. Memberi hormat pada orang-orang yang jauh lebih tua jika dilihat dari fisik mereka yang ringkih.

Setelah menjauh dari rombongan itu, Panca berbisik pada Pratiwi, "kau lihat kan ... orang lain menghormatiku di sini. Hanya kau yang mengomeli diriku ...."

"Ya ya ya, Raden Panca ... saya mengerti." Pratiwi memasang wajah cemberut seakan sulit menerima kenyataan.

Pratiwi memalingkan muka. Dia mulai enggan bicara panjang lebar dengan saudaranya. Gadis itu lebih suka melihat gedung-gedung yang berjejer rapih di kiri dan kanan jalan. Dihiasi oleh pohon yang tumbuh rindang di halaman, gedung itu menjadi pertanda kewibawaan suatu pemerintahan yang datang dari negeri seberang.

"Tunggu," Panca mengangkat tangan.

"Ada apa?"

"Lihat ke depan ...!"

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang