Tiga anak remaja itu beristirahat di taman kota. Ketika kuda-kudanya sedang merumput, mereka masih membicarakan apa yang belum lama terjadi. Kejadian yang bisa merenggut nyawa mereka.
Burung yang bernyanyi diantara pepohonan tidak bisa membawa mereka menjadi lebih tenang. Meskipun tubuh telah diregangkan tetapi hati ketiga anak itu belum bisa tenang.
"Nona Anna, aku masih belum bisa menerima jika kau menuduh ayahku, Raden Aditama, menjadi bagian dari komplotan perampok!" Pratiwi bicara dengan nada kesal.
"Ah, kau tidak usah terus menyangkal sesuatu yang belum kau ketahui. Lagipula kau tidak ada di sana ketika komplotan itu ... jelas-jelas menyebutkan nama ayahmu."
Anna bicara dengan nada datar. Wajahnya menghadap ke arah kolam, matanya menatap seekor ikan yang mendekat seakan ingin diberi segenggam makanan. Hidung mancung gadis itu semakin terlihat jelas oleh Pratiwi yang melihat orang dari sisi kanan.
Pratiwi melirik ke arah Panca yang sedang merebahkan tubuhnya di atas rerumputan. Anak laki-laki itu mengunyah sebatang rumput dengan tangan kiri menahan kepala sebagai bantalan. Mata Panca menyaksikan dengan seksama burung layang-layang yang terus berputar-putar di atas kolam. Air yang tenang di kolam ternyata disukai burung layang-layang. Mereka seakan enggan terbang menjauh dari tempat ketiga anak remaja itu saling bicara.
"Panca, bicaralah! Kenapa kau diam saja?" Pratiwi merasa kesal ketika Panca pun tidak menyangkal apa yang dikatakan Anna.
"Panca pasti setuju denganku karena dia mendengar sendiri jika para penjahat itu menyebut nama ayahmu."
"Tapi, itu tidak menjadi bukti jika ayahku terlibat dalam kejahatan."
"Mereka takut pada ayahmu, itu berarti mereka saling kenal."
"Bukankah orang-orang di Batavia mengenal ayahku? Tadi aku bertemu dengan banyak orang di sini yang mengenal ayahku."
"Mereka mengenal ayahmu ... karena tahu reputasi ayahmu, Pratiwi. Dia punya kuasa di sini. Dan, kau tidak curiga jika ayahmu ... menguasai para penjahat ...."
"Maksudmu, ayahku menjadi pimpinan dari komplotan penjahat?"
"Ya, karena mereka pun segan pada Panca ketika tahu jika dia dilindungi ayahmu."
Pratiwi sulit menerima pernyataan Anna. Gadis berbaju pangsi itu mengarahkan pandangan pada Panca, "benarkah itu?"
Panca tidak menjawab.
"Ah, saya sulit percaya jika ... kalian menuduh ...."
"Aku tidak menuduh, Pratiwi. Mungkin ini sulit untuk kamu terima. Tapi, sulit juga untuk menyangkal jika Raden Aditama ... terlibat dalam masalah yang sedang aku hadapi."
"Itu fitnah tanpa bukti."
Pratiwi masih menyangkal jika ayahnya menjadi bagian dari komplotan penjahat yang sebelumnya hampir menghabisi nyawa Anna dan Panca. Pratiwi memang tidak tahu persis apa yang dilakukan ayahnya di Batavia. Tapi, dia juga tidak ingin dianggap sebagai anak seorang penjahat.
Suasana hening sejenak. Kebetulan waktu itu taman kota tidak dikunjungi banyak orang. Hari sedang panas-panasnya, penduduk kota sedang tidak suka keluar rumah dan menikmati bunga-bunga yang bermekaran di taman. Hanya serangga-serangga yang mengitari warna-warninya kelopak bunga.
"Pratiwi, tadi kita berkunjung ke Kampung Nelayan di ujung Batavia. Tapi, aku yakin itu bukan tempat para nelayan berkumpul ... tapi ... tempat persembunyian para penjahat. Mereka yang menyerang kami bukan nelayan, tetapi komplotan perampok yang tidak suka tempat persembunyiannya terkuak." Anna menjelaskan dengan nada ketus.
"Tapi, buat apa kalian datang ke sana?"
"Mencari tahu ke mana barang yang dicuri dari rumahku."
"Bagaimana bisa kalian datang ke sana. Batavia kan luas?"
"Panca pernah berkunjung ke sana, bersama pamannya ... ayahmu, Raden Aditama."
"Maksudmu, ayahku ... mengenal komplotan perampok ... dan memiliki hubungan dengan mereka?"
"Pratiwi, justru aku curiga jika ayahmu adalah pemimpin mereka!"
Anna langsung mengungkapkan sebuah kesimpulan yang membuat Pratiwi tersinggung.
Kedua gadis itu saling tatap, sebuah tatapan tajam yang menyiratkan permusuhan.
"Hei, kalian tidak usah bertengkar. Itu hanya dugaan," Panca bangun kemudian duduk sambil melerai kedua gadis yang mulai bicara dengan nada tinggi.
Anna beranjak kemudian berjalan ke arah kuda yang masih asyik merumput. Tanpa menoleh pada Pratiwi dan Panca, gadis Eropa itu naik ke atas pelana. Bermaksud untuk pergi.
"Hei, kau mau ke mana?" Panca bertanya penasaran.
"Aku ke rumah Tuan Van De Meer. Mandi dan menenangkan diri. Di sini hanya memancing emosiku saja."
Anna melecut tali kekang. Si kuda berjalan pelan meninggalkan taman kota yang nyaman untuk menghabiskan hari dan bertemu teman baru, sesama kuda tunggangan. Si kuda berjalan dengan enggan, tetapi perintah majikannya sulit untuk dibantah.
"Panca, benarkah yang dikatakan Anna?" Pratiwi menatap wajah sepupunya dengan rasa penasaran yang bercampur ketidakpercayaan.
Panca tidak menjawab.
"Jadi benar? Benar jika ayahku pimpinan komplotan perampok?"
"Itu baru dugaan. Belum terbukti benar."
"Pantas saja Anna tidak menyukai kehadiranku di sini. Tidak seperti biasanya, dia tidak menyambutku."
"Hanya satu cara untuk meyakinkannya."
"Bagaimana?"
"Mencari Paman Aditama, kemudian menanyakan ini padanya."
"Tapi ke mana? Aku sudah seharian mencarinya. Berkeliling Batavia."
Panca menarik nafas panjang, "sangat mungkin Paman berada tidak jauh dari Kampung Nelayan itu."
"Bagaimana kau yakin? Lagipula kau tidak takut jika orang-orang itu melukaimu?"
"Aku masih takut, tetapi jika kita bertemu ayahmu ... setidaknya ada pelindung. Aku yakin dia tidak jauh dari Kampung Nelayan itu ... karena tadi ada penembak misterius yang membantu kami ... dan aku yakin itu Paman Aditama."
"Penembak misterius?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
AksiAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...