68

62 20 0
                                    

"Anna? Bagaimana dia ada di sini? Bukankah dia sudah pulang ke rumah Tuan Van De Meer?" Pratiwi bertanya-tanya ketika menyaksikan Anna menembak dari atas pelana kuda.

Panca menggelengkan kepala. Antara kaget, kagum dan serba bingung dengan apa yang terjadi di hadapannya.

Dari atas kuda masing-masing, Panca dan Pratiwi tidak bisa berbuat banyak. Mereka hanya terdiam, menonton dari kejauhan sebuah keriuhan yang mengundang perhatian warga kota.

Seorang terduga pencuri sedang dikepung oleh beberapa pria dewasa yang menghunus pedang serta mengangkat senapan. Kini, pencuri itu terlihat kesakitan. Kaki kirinya terluka, terlihat mengucurkan darah segar. Darah yang menetes di sela celananya pangsi berwarna hitam; terlihat jelas membasahi kain dan kulit pencuri itu.

Hal yang membuat Panca tergerak pikirannya untuk memperhatikan ketika melihat terduga pencuri itu bergaya sama dengan apa yang sering disampaikan Anna. Pencuri itu memakai pakaian serba hitam, bertopeng sehelai kain serta membawa bilah bambu.

"Panca, menghindar! Polisi itu mengarahkan senapan ke arah kita!" Pratiwi meraih tangan saudara sepupunya untuk menyingkir.

Panca tidak bicara sepatah kata pun. Terlintas dalam pikirannya banyak hal. Anak remaja itu teringat bagaimana Anna menceritakan dengan detail peristiwa pencurian di rumah perkebunan Tuan Eickman.

Pencuri itu memasukan surat tanah ke dalam sebilah bambu. Dia menggunakan bilah bambu itu untuk melumpuhkan petugas keamanan. Dan, ketika sudah terkepung pun si pencuri masih terlihat tenang. Pencuri itu tidak bermaksud melukai siapa pun, dia hanya ingin pergi dengan bebas tanpa dikejar. Padahal, dia terlihat membawa senapan yang tergantung di pundak.

Tak dinyana, tak disangka Panca melecut tali kekang. Dia memerintahkan si kuda untuk berlari mendekati kereta kuda tempat si pencuri itu berdiri.

"Hei kau mau ke mana?!" Pratiwi sulit mengerti jalan pikiran saudaranya. Ketika warga lain menghindari pencuri itu, mengapa anak itu malah mendekat sumber bahaya.

Polisi saja tetap menjauh dari si pencuri, kenapa dia berusaha mendekat. Pratiwi tidak berusaha mencegah saudaranya. Mungkin dia punya rencana.

Dalam waktu sekejap, Panca sudah dekat dengan kereta kuda berwarna hitam mengkilap yang masih terdiam di tengah jalan. Semua yang menyaksikan merasakan keanehan sekaligus menyangsikan apa yang akan diperbuat oleh Panca. Begitu pula dengan Si Pencuri, dia tidak melakukan apa-apa ketika Panca berhasil mendekat.

Tuk tak tuk tak ...

Langkah kuda berangsur pelan. Panca yang duduk tegak di pelana saling pandang dengan Si Pencuri.

"Paman, ayo naik!"

Panca mengajak kusir kereta yang sedari tadi tidak beranjak dari kursinya untuk pergi.

Tentu saja si kusir tidak bisa mengikuti ajakan Panca. Pencuri itu masih mengarahkan sebilah pisau ke leher orang itu. Dia disandera.

Ketika pencuri itu merasa tersudut dan terluka, dia memanfaatkan kesempatan untuk menyandera si kusir yang masih terkaget-kaget dengan kejadian yang datang tiba-tiba. Aku menyesal tidak kabur dari tadi, hati si kusir merasakan penyesalan.

"Ayo Paman, melompat ke kuda saya ...."

Pencuri itu menatap Panca dengan tatapan tajam.

"Dia tidak akan berani melukai, Paman."

"Bagaimana Raden yakin?" kusir itu berkata dengan gemetar karena sebilah pisau masih melekat di leher.

"Karena ... dia telah berjanji ...  tidak akan membunuh lagi ...."

Pencuri itu tidak berani lagi menatap Panca. Dia mengalihkan pandangan ke arah lain.

Panca mulai merasakan sesuatu yang aneh dengan pencuri itu. Si pencuri enggan menatap mata Panca, enggan pula  memberikan ancaman.  Tidak ada sepatah kata pun terlontar dari mulutnya.

"Ayo, Paman. Melompat ke atas kuda saya ...." Panca berkata sambil terus menatap si pencuri.

Si kusir masih enggan melompat karena pisau masih menempel di lehernya. Kusir itu menatap si pencuri; tapi si pencuri seakan tidak peduli dengan sikap si kusir.

Bagi orang-orang yang melihat, ini nampak seperti mengulur waktu. Bagi Panca, ini cara dia untuk meyakinkan apa yang selama ini menjadi pertanyaannya. Siapa pencuri yang dimaksud oleh Anna?

Selangkah lagi Panca akan mendapatkan jawaban itu. Tanpa disadari oleh si pencuri, kuda yang ditunggangi Panca semakin dekat dengan kereta kuda. Bahkan, kuda itu cenderung menempel dengan dinding  kereta.

Aku ingin menangkap orang ini; untuk membuktikan pada Anna jika tuduhannya salah.

Mata Panca melihat sebuah kaki pencuri itu berdarah, lemah. Tangan kanannya masih memegang pisau yang menempel di leher sandera. Sedangkan tangan kirinya mengapit tubuh si sandera.  Dia sedang sibuk.

Haappp!

Anak remaja itu melompat ke atas kereta kuda dan menangkap tubuh si pencuri.

Byunggg ... braakk!

Panca dan pencuri itu terjungkal dari atas kereta kuda.

Semua yang menyaksikan tidak menyangka jika anak itu nekat mendekat dan menjatuhkan si pencuri.

Si pencuri kaget, kini dia didekap oleh seorang anak remaja. Tangan dan kakinya seakan tidak bisa berbuat apa-apa. Dia terkunci.

Panca dan si pencuri saling tatap.

"Panca, bilah bambunya!" terdengar suara seorang gadis berteriak dari arah depan.

Tangan Panca meraih bilah bambu itu dan melemparkannya pada gadis itu.  Piuunggg!

Dengan cepat, tangan kanan Panca memegang sehelai kain yang menjadi topeng si pencuri. Bermaksud membuka untuk mengetahui identitas di balik kain hitam itu. Siapa kau sebenarnya?

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang