69

62 18 1
                                    

"Kau tidak usah mengkhawatirkan anak itu," Anna mendekati Pratiwi yang terlihat khawatir.

Pratiwi tidak menanggapi Anna. Matanya masih menatap lurus ke depan. Mereka masih menyimpan rasa kesal satu sama lain.

"Panca yakin jika dia tidak akan dilukai."

"Bagaimana kau yakin?" Pratiwi heran dengan keyakinan Anna yang seakan tidak berdasar.

"Panca mengenal siapa pencuri itu."

Pratiwi menoleh kepada Anna, "kau masih berpikir jika dia adalah ayahku?"

Anna hanya tersenyum sinis. Ternyata dia mengerti arah pembicaraanku.

"Hentikan tuduhan itu."

"Mari kita lihat sama-sama; siapa yang salah." Anna melecut kudanya demi mendekati Panca yang sudah melumpuhkan pencuri itu.

Pratiwi mengikuti Anna dengan segera melecut si Nakula. Dengan rasa penasaran, Pratiwi segera turun dari kuda setelah mendekat pada orang yang sedang berduel.

Terlihat Panca begitu erat memegang tubuh pencuri itu. Anak remaja itu  mengunci pergerakan lawannya. Dia tahu jika lawannya sudah lemah; seakan tidak ada perlawanan.

Pratiwi merasa heran ketika tubuh kecil saudaranya bisa mengunci tubuh si pencuri yang lebih besar. Apakah lawannya itu benar-benar lemah atau dia enggan untuk melawan?

Pratiwi lebih heran lagi ketika Anna tiba-tiba saja membuka baju si pencuri. Anna langsung kaget.

"Kau pencuri di rumahku!?"

Pratiwi mengerti jika Anna mencari bekas luka tembak di bahu kiri pencuri itu. Terlihat jelas luka itu masih bernanah. Belum sembuh benar. Besar kemungkinan jika luka itu baru saja didapati oleh orang yang sedang dikerumuni warga itu.

"Wajahnya ...," Panca mengingatkan Anna sambil tetap memegang tangan dan kaki si pencuri, terkunci.

Dengan wajah memerah, Anna memelototi orang di hadapannya. Tangan kanan gadis itu memegang sehelai kain yang menutupi wajah si pencuri.

"Aku ingin tahu siapa ... kamu ...."

Anna kaget dengan apa yang dilihat. Panca pun begitu, sampai-sampai anak itu tidak sadar jika pegangan tangannya menjadi longgar.

Tangan si pencuri bisa melepaskan diri dari pegangan Panca. Tubuh kecilnya dengan mudah dibanting ke arah kanan dimana Anna jongkok sambil menatap setengah tidak percaya dengan apa yang dilihat.

"Ternyata ...," Anna bergumam.

Dunia terasa hancur terbelah.

Anna tidak pernah bertemu dengan orang pemilik wajah itu. Tapi, Anna sangat mengenal orang-orang yang memiliki wajah mirip dengan pemilik wajah itu. Kenapa ini sesuai dengan apa yang kupikirkan.

Anna menatap ke arah Pratiwi, terlihat jelas wajah gadis itu yang sulit menerima apa yang tengah terjadi. Kedua tangan Pratiwi menutup wajah. Dia enggan melihat apa yang sedang terjadi lebih lama lagi. Dia mundur beberapa langkah.

"Dia kabur, kejar!" polisi yang hendak meringkus si pencuri telat beberapa saat. Pria-pria berseragam biru itu langsung berlari sambil mengacungkan senapan. Tidak ada yang memberi komando untuk mengejar pencuri, tetapi begitulah kebiasaan warga apabila ada seseorang yang diduga pencuri. Mereka akan mengejar ramai-ramai.

Warga yang sedang berjalan mendekat pun kini berbalik arah. Mereka ramai-ramai mengejar si pencuri yang kabur.

Anna tidak mau melepaskan kesempatan untuk meminta keterangan dari si pencuri. Gadis itu pun berlari kencang sebagaimana warga kota yang berlarian.

Kini, yang tersisa di tengah jalan hanya Panca dan Pratiwi. Seakan tidak ada yang peduli dengan kondisi mereka berdua, tak ada yang mendekat. Padahal kedua anak remaja itu sedang merasakan kekagetan yang sulit terperikan. Perasaan mereka berdua campur aduk; antara malu, marah dan perasaan tidak percaya.

Terlebih Pratiwi, gadis itu menangis  tersedu. Tubuhnya lemah lunglai.

"Pratiwi, aku tidak tahu jika ...," ternyata A Ling berjalan mendekati Pratiwi. Tapi, gadis itu malah menangis meraung-raung. A Ling tidak jadi mendekat.

"Pergi, A Ling!"

"Kau ...."

"Kau pasti berpikir aku pun terlibat dengan semua ini?"

"Tidak, aku tidak berpikir begitu."

"A Ling, sebaiknya kau pergi!"

Pratiwi mengusir sahabatnya sendiri. Tangan kiri gadis itu menunjuk ke arah A Ling.

"A Ling, maafkan kami ...," ternyata Panca masih ada di belakang A Ling dan Pratiwi. Anak itu masih terkapar lelah setelah berduel dengan si pencuri.

"Tidak ada yang perlu dimaafkan. Kalian tidak salah apa-apa. Aku tidak ... benar tidak menyangka ... jika apa yang diduga ...."

"Ya, apa yang diduga Anna benar."

"Aku tidak menyangka jika apa yang terjadi pada Anna juga terjadi padaku."

"Panca, sebaiknya aku segera menyusul Anna. Aku khawatir dia kehilangan kesabaran ...."

"Ya, sebaiknya begitu."

A Ling berlari kencang. Dia mengikuti arah ke mana warga juga berlari mengejar si pencuri. Mungkin sekali puluhan warga kota sudah menyebar ke berbagai arah untuk menangkap orang yang telah mencuri dokumen di Bank Batavia.

"Pratiwi, sebaiknya kita pun mengikuti mereka." Panca membujuk saudara sepupunya.

"Tidak ... aku ...." Pratiwi menggelengkan kepala.

"Pratiwi ... apakah kau mau ayahmu ditangkap dan dipukulin warga hingga dia ...."

Pratiwi menatap Panca, menyeka air matanya. Tanpa berlama-lama, gadis itu berdiri kemudian berlari.

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang