Ketika jarum jam menunjukan angka VI, Anna semakin merasakan kegelisahan itu.
Gadis itu tidak terbiasa menginap di rumah orang lain. Kenyamanan perkebunan sudah melekat di tubuhnya. Ketika petang tiba, Anna bisa menyaksikan semburat cahaya mentari diantara hamparan pohon-pohon teh. Tapi, di Batavia apalagi di kediaman Tuan Van De Meer Anna hanya bisa melihat tembok rumah tetangga.
Paling banter, gadis itu hanya bisa menyaksikan kereta kuda yang lalu lalang. Sudah cukup lama dia berada di beranda sambil menunggu hujan reda. Langkah kakinya mengajak dia untuk kembali ke ruang tengah, melihat bandul jam yang bergoyang ke kiri dan ke kanan. Dia berdiri tepat di depannya, ternyata jam itu lebih tinggi dari tubuhnya.
Bagi Anna, keresahan yang timbul ketika malam dikarenakan kegelapan yang bisa mengundang hewan buas dan pencuri. Kini, bukan hewan buas yang bisa masuk ke dalam rumah. Mungkinkah pencuri?
Tapi, kenapa dia harus mengkhawatirkan kedatangan para pencuri. Ini bukan rumahnya, apa yang tersaji di depan mata juga bukan miliknya.
"Kau terlihat tidak tenang, Sayang," Nyonya Van De Meer menerka isi hati gadis bertubuh langsing itu.
"Eee, saya hanya kebingungan. Tidak ada yang bisa saya lakukan di sini."
"Setelah makan malam, sebaiknya kau segera tidur."
"Sebaiknya begitu, Nyonya."
"Dan, jangan berpikir untuk berkeliaran ke mana-mana."
Anna hanya tersenyum ketika si empunya rumah bisa menerka apa yang dipikirkan anak remaja itu. Nyonya Van De Meer berjalan ke arah ruang tamu, menyalakan lampu kemudian menutup jendela. Mata Anna memperhatikan betapa nyonya rumah itu terlihat tegang. Apakah ini lumrah baginya, terlihat tidak nyaman ketika malam menjelang?
"Oh, kenapa dia belum pulang juga."
"Siapa Nyonya, Tuan?"
"Ya, tidak biasanya dia pulang sebelum malam. Apakah urusannya begitu penting?"
Nyonya Van De Meer merasakan kegelisahan ketika suaminya belum pulang menjelang malam. Mungkin sekali perasaan itu menjalar pada Anna yang belum genap sehari berada di rumah itu.
"Apakah semuanya baik-baik saja, Nyonya?"
"Ya, kuharap begitu."
Temaram lampu kini menghiasi ruangan. Tembok berwarna pucat di rumah itu kini tidak terlihat lagi. Di mata Anna, rumah ini begitu sepi. Tanpa canda tawa para pekerja perkebunan atau tangisan anak-anak mereka. Apalagi, di rumah itu tidak ada suara lenguhan sapi atau gonggongan anjing. Oh, aku merindukan mereka.
Anna berniat menengok ke halaman belakang, memastikan kudanya baik-baik saja. Kasihan juga dia, tidak ada kandang yang menaunginya. Untung saja, masih ada halaman belakang untuk menampung seekor kuda. Karena selebihnya rumah hanya dikelilingi pemukiman padat ala Batavia. Anna sendiri sulit mengerti kenapa keluarga Van De Meer memilih bertempat tinggal di pemukiman yang lebih padat.
"Kasihan kuda itu, tempatnya sempit."
"Iya, Nyoyaa. Dia terbiasa bermalam di kandang bersama temannya."
"Tadinya kami tinggal di pinggir kota, halamannya lebih luas. Tapi, seorang notaris mengharuskan dekat dengan klien-kliennya."
"Ya, saya mengerti. Kalau boleh tahu, siapa saja yang menjadi klien Tuan Van De Meer?"
"Kebanyakan para pedagang di Batavia. Sebetulnya, perkebunan Tuan Eickman bukan wilayah kerjanya. Tapi, waktu itu belum ada notaris lain yang bisa menanganinya. Sekarang, dia lebih suka menangani klien yang baru tiba di Batavia."
Anna mendengarkan dengan seksama uraian dari Nyonya Van De Meer tentang pekerjaan suaminya. Pekerjaan orang kota yang tidak sepenuhnya dipahami oleh Anna.
"Selamat malam!"
Suara orang membuka pintu terdengar dari ruang tamu. Nyonya Van De Meer menyambut orang yang baru saja tiba, suaminya. Membuka mantel dan melepaskan topi di kepala kemudian menyerahkannya kepada nyonya rumah.
"Hah, Batavia oh Batavia, kenapa banjir senantiasa melanda."
"Curah hujan sangat besar hari ini, Tuan," Anna menimpali ketika menyaksikan Tuan Van De Meer begitu kelelahan.
Pria bertubuh tambun itu duduk di kursi ruang tengah kemudian menyeruput teh yang disediakan di meja. Dia menatap Anna, tersenyum. Gadis itu membalas senyumannya.
"Sayangku, aku minta maaf."
"Minta maaf untuk apa, Tuan."
"Kau harus pulang dengan tangan hampa. Polisi belum bisa memberikan surat keterangan tentang kejadian pencurian itu."
"Kenapa, Tuan?"
"Menurut mereka, ayahmu tidak memberikan keterangan tentang pencurian."
"Maksudnya?"
"Mereka sudah melakukan penyelidikan. Tetapi, menurut keterangan polisi ... Tuan Eickman tidak mengatakan telah terjadi pencurian."
"Bagaimana bisa? Di rumah kami terjadi pencurian dokumen surat tanah."
"Ya, tetapi ... sepertinya ayahmu merahasiakan ini dari mereka. Katanya, Tuan Eickman hanya melaporkan tentang kejadian penyerangan."
"Apa mungkin ayahku sengaja merahasiakan itu?"
"Sangat mungkin. Tentu saja dengan alasan. Dan, aku tidak tahu alasannya kenapa ayahmu merahasiakan itu."
"Mungkin, ayah mencurigai ...."
"Pencurian ini ada hubungannya dengan polisi perkebunan yang bertugas di rumah kalian. O, kalau begitu ... siapa yang bisa kita percayai."
"Ayah saya hanya mempercayai Tuan. Makanya dia menugaskan saya untuk menemui Anda, Tuan."
"Bisa dimengerti jika ayahmu bersikap begitu, karena kronologi pencurian itu begitu mengherankan ... mungkinkah melibatkan orang dalam?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
ActionAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...