55

61 19 0
                                    

"Panca, itu anak siapa?"

"Itu anaknya Paman Wira," Panca menjawab pertanyaan Anna.

Anna menatap temannya, mereka tidak saling bicara tetapi saling mengerti apa yang harus dilakukan. Anna menghampiri seorang anak laki-laki. Usianya sekitar 5 tahun. Tubuhnya terlihat sehat,  tidak tampak sebagai anak yang kekurangan gizi. Mungkin sekali dia banyak memakan ikan laut beserta sayuran di sekitar Kampung Nelayan.

"Hai, kamu sedang apa?"

"Hai, aku sedang membuat mainan dari kerang."

"Oh, kamu pintar juga ya."

"Bapa yang mengajarkan saya, Nona."

"Kamu tahu ... semalam bapamu pergi ke mana?"

"Oh, bapa melaut."

"Yakin?"

"Ya."

"Tapi, sampan itu seperti tidak bekas dipakai." Anna menunjuk sampan yang teronggok tidak jauh dari tempatnya berjongkok.

Sampan itu diliputi pasir dan dedaunan yang berserakan. Dayungnya tergeletak begitu saja, hampir terkubur oleh pasir pantai. Anna tidak yakin jika pemiliknya telah menggunakannya dalam waktu dekat. Sampan itu sudah lama tidak digunakan.

"Emmmm ... semalam Bapa jalan kaki ... tangannya berdarah ... aku melihatnya karena Bapa berteriak-teriak ketika aku sedang tidur. Aku terbangun."

"Kami lihat tangan bapamu berdarah, karena apa?"

Anak laki-laki tidak sempat menjawab pertanyaan Anna. Seseorang menjawab pertanyaan itu dari belakang.

"Hanya terkait kail ... ketika sedang mencari ikan."

Anna beranjak, membalikan badan sambil tersenyum pada Wira.

"Mencari ikan di rumah orang?"

"Apa maksudmu, Nona. Mencari ikan tentu saja di laut."

"Oh begitu, apakah Paman mendapatkan tangkapan ikan yang besar?"

"Sayang, semalam tidak mujur. Nihil."

"Mungkin Paman salah tempat ketika mencari ikan tangkapan, seharusnya Paman mencaritahu terlebih dahulu dimana tempat dengan ikan yang banyak."

Anna tersenyum. Sebagai balasan dari senyum seorang wanita yang baru saja menyuguhkan makanan, singkong rebus dan 2 cangkir air teh.

"Ini istri saya, dia orangnya pemalu," Wira menunjuk wanita itu yang terus berlalu menuju dapur.

Langkah wanita itu begitu cepat. Tidak ada sepatah kata pun terlontar dari mulutnya. Kain kebaya yang membalut kedua kakinya tidak menjadi penghalang agar dia segera berlalu meninggalkan 2 tamu yang tak dinyana berkunjung ke rumahnya.

"Raden Panca, maaf bila saya terburu-buru bertanya, jika boleh tahu apa keperluan kalian berdua sehingga berkunjung ke tempat terpencil seperti di sini? Benarkah hanya berjalan-jalan?"

"Saya dan Nona Anna, bermaksud mencari Paman Aditama. Pernahkah Paman Wira bertemu dengannya?" Panca mengutarakan maksud kedatangannya ke Kampung Nelayan.

"Sudah beberapa hari saya tidak bertemu, terakhir bertemu ... di rumah Tuan Van De Meer, notaris Batavia."

"Benarkah? Saya baru saja dari rumah Tuan Van De Meer."

"Waktu itu saya sedang menuju Pasar Kota, saya melihat Raden Aditama, pamannya Raden Panca ... sedang di depan rumah Tuan Van De Meer. Ketika saya tanya 'sedang apa',  Raden Aditama hanya menjawab 'sedang melihat-lihat'."

"Setelah itu?"

"Saya tidak bertemu dia lagi."

Panca menahan nafas, Anna pun begitu. Mereka menampakan kekecewaan.

"Kalau boleh tahu, ada apa gerangan mencari Raden Aditama?"

Panca menatap lautan lepas, "semalam, ada orang yang menyatroni rumah Tuan Van De Meer ... teman saya ini hampir menjadi korbannya ... dan saya meminta bantuan Paman Aditama ...."

"Untuk apa?"

"Membantu mencarinya, dan ... menghabisinya ...."

Wira menarik wajahnya, kemudian memalingkannya ke arah dinding. Menyembunyikan warna emosi di hati.

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang