71

64 19 0
                                    

Panca semakin sulit mengerti dengan perasaannya sendiri. Kini, ketiga kawan wanitanya malah berselisih paham. Bukan hanya adu mulut, tetapi sudah adu jotos.

Bagaimana tidak, Anna marah besar ketika sebilah pisau menancap di tangannya. Padahal, selangkah lagi dia bisa melumpuhkan orang yang selama ini diduga sebagai pencuri dokumen penting milik keluarganya.

Dan, hal yang membuat Anna semakin meradang adalah ketika dia tahu jika orang yang menancapkan pisau itu adalah A Ling. Meskipun hanya pisau kecil seukuran telunjuk tangan, tetapi itu cukup membuat tangan kanannya tidak sanggup lagi menahan beban senapan. Jangankan menarik pelatuk, memegang pangkal senapan pun dia sudah tidak sanggup.

"A Ling! Akan kubunuh kau!"

A Ling hanya berdiri tanpa memberikan reaksi.

Mata A Ling tidak balik menatap Anna. Dia malah memperhatikan si terduga pencuri yang sedang berjuang untuk menghindari kemarahan warga.

Si maling seakan menghilang ditelan gelombang banjir yang datang dari arah selatan. Dia hanyut bersama derasnya air bersama sungai menuju Laut Jawa.

Warga dan polisi yang sama-sama mencari kini tidak bisa melihat tubuh si pencuri meskipun hanya ujung rambutnya. Mata warga hanya menyaksikan air yang menggenang, kemudian mengalir tenang ke sungai. Apalagi sungai yang berair keruh tidak mampu menunjukan apa yang sedang hanyut di sana. Walau itu hanya seekor biawak.

"Dia kabur!"

"Mungkin tenggelam!"

"Ah, sepertinya dia menyelam ke dasar sungai!"

Suara-suara kemarahan dan kekecewaan terdengar dari berbagai sudut. Meskipun warga sudah menyebar demi mempermudah pencarian, tetap saja hasilnya nihil.

Perhatian warga kini tertuju pada Anna. Tubuhnya yang terlihat lemah, dihampiri beberapa orang warga kemudian membopong gadis itu ke kereta kuda terdekat. Mereka hendak membawa gadis Eropa itu ke Rumah Sakit.

"Argh!" teriakan masih terdengar sebagai tanda kemarahan Anna pada situasi yang tidak dikehendakinya.

Namun, lama-kelamaan teriakan itu terdengar parau dan pelan. Kereta kuda melaju menyusuri jalan raya dan menjauh dari tempat kejadian.

Kini, yang tertinggal hanya Panca, Pratiwi dan A Ling. Semua warga dan polisi yang sebelumnya semangat mencari si pencuri kini membubarkan diri.

Untuk sesaat, suasana menjadi hening. Keriuhan yang sebelumnya terjadi kini hanya menyisakan sepi.

Panca menatap A Ling kemudian melihat wajah Pratiwi. Tampak diantara mereka keengganan untuk saling bicara. Dan, Panca tahu kenapa begitu.

"A Ling, terima kasih ya. Sepertinya, kami berdua harus segera pergi," Panca menganggukan kepala kepada A Ling. Berharap A Ling paham maksud dari perkataan temannya.

"Aku pun harus segera kembali ke Bank Batavia. Ada urusan yang belum selesai."

"Maafkan kami jika mengganggu urusanmu. Sampaikan juga permintaan maaf kami pada Paman Ketua."

A Ling menganggukan kepala. Dia pergi dengan berjalan cepat. Tanpa berpamitan dengan Pratiwi yang masih enggan menatap A Ling.

"Pratiwi, A Ling ...."

"Aku malu, Panca. Aku malu pada mereka."

"Aku mengerti perasaanmu."

"Ternyata apa yang dikatakan Anna benar adanya."

Panca tidak menanggapi kalimat Pratiwi.

"Panca, kau sudah tahu kan jika sebenarnya ayahku terlibat kejahatan?"

"Aku tidak tahu."

"Tapi kau begitu yakin mendekati dia tadi ketika di atas kereta kuda. Kau pasti sudah tahu jika itu ayahku kan?"

"Hanya dugaan saja."

"Ah, pantas kau berani mendekat karena kau yakin tidak akan dilukai."

"Aku hanya mengikuti firasatku."

"Sebenarnya, dari awal kau percaya pada tuduhan Anna pada ayahku kan?"

Panca tidak menjawab pertanyaan saudara sepupunya itu.

"Sudah kuduga, kalian ternyata mengincar ayahku sejak awal."

"Bagaimana tidak, Paman Aditama menolongku ketika aku dan Anna dikepung oleh komplotan perampok di Kampung Nelayan."

Pratiwi menatap Panca.

...

Semburat warna jingga mulai muncul di ufuk barat. Matahari ingin sekali tenggelam diantara kelabunya langit. Tidak ada lagi warna biru yang biasanya menjadi pertanda kegembiraan.

Kelabu juga yang mewarnai hati Pratiwi. Baginya, Batavia bukan tempat yang nyaman untuk ditinggali. Walau hanya sehari.

"Panca, ayo kita pulang ...."

"Tapi, sebentar lagi malam. Sebaiknya ...."

"Tidak, aku ingin pulang sekarang juga. Bila kau tidak mau ...."

"Ya, aku ikut. Kalau kita kemalaman bisa menumpang menginap di rumah warga."

Pratiwi berjalan dengan langkah tergesa meninggalkan Panca yang masih enggan untuk melangkah.

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang