20

77 25 1
                                    

"Aduhh, aku kesiangan. Belum sholat subuh nih," Panca terbangun dari tidurnya, "ke mana Anna?"

"Dia sudah pergi sebelum kau bangun. Pagi-pagi sekali." A Ling menjawab pertanyaan Panca sambil menyapu lantai.

"Oh, ini uang siapa?" Panca melirik beberapa keping uang gulden tergeletak di meja.

"Katanya, itu uang ganti karena kau telah membayar semuanya, termasuk penginapan."

Panca terdiam sejenak, dia duduk di bangku panjang tempat sebelumnya dia tertidur. Jendela rumah makan itu sudah terbuka, begitu pula pintunya. Terlihat dari dalam, orang-orang yang mulai ramai lalu-lalang meskipun hari masih terlalu pagi untuk jalan-jalan.

"A Ling, terima kasih ya sudah menerima kami di sini."

A Ling menganggukan kepala, "Panca, sepertinya kau terlihat begitu mengkhawatirkannya."

"Ya, tentu saja. Kau tahu, aku akan merasa bersalah jika terjadi apa-apa padanya."

"Oh, sebegitunya."

"Dia tetanggaku, A Ling. Ya ... walaupun rumah kami agak berjauhan. Tetapi, ayahnya pasti akan menemuiku jika terjadi apa-apa padanya. Dia tidak punya teman, kecuali anak-anak kecil yang turut serta orang tuanya bekerja di perkebunan."

"Oh, aku pikir kalian hanya kenal selintas saja."

"Nanti saja aku ceritakan lagi. Sepertinya aku sudah ditunggu oleh orang-orang sekampungku. Ada beberapa pesanan gerabah yang belum kami layani."

Panca berjalan dengan tergesa. Meninggalkan A Ling yang terus menatap punggung anak remaja itu. A Ling berhenti menyapu lantai. Pikirannya bertanya-tanya ketika semalam ada tamu yang turut serta bersama Panca. Ada apa diantara mereka berdua? Benarkah hanya sekedar teman?

A Ling tidak terlalu ingin dipusingkan dengan urusan kedua temannya. Tetapi, di sisi lain A Ling merasa senang karena mendapatkan teman baru. Seorang gadis Eropa yang supel bahkan terkesan tangguh. Bagi A Ling, Anna berbeda dengan gadis-gadis Eropa yang sering ditemuinya di jalanan ibu kota. Anna terlihat begitu keras dalam pendirian. Juga, Anna seperti laki-laki dalam tubuh perempuan. Pintar membentak orang dan lihai beladiri. Tapi, ada satu hal yang tidak disukai A Ling pada diri Anna, gadis Eropa itu jarang sekali tersenyum.

Tanpa sadar, A Ling menggunakan sapu di tangannya sebagai senjata. Dalam imajinasi gadis Cina itu, gagang sapu seakan tongkat untuk memukul penjahat yang mencoba menggodanya.

----

"Ciattt!"

A Ling berlari ke arah punggung bukit. Tapi dua orang laki-laki garang yang mengejarnya tidak mau menyerah. Mereka pun mencoba mengejar kemudian melompat ke arah A Ling. Tapi gadis itu pun sigap melayangkan pukulan ke arah kepala laki-laki itu. Tak! Tongkatnya menghantam kepala. Dia terjungkal.

Teman si penjahat tidak mau diam dan menonton. Dia marah melihat orang di depannya terjungkal. Argh! Dia melayangkan sabetan dengan tangan kanannya. Golok itu hampir saja mengenai leher A Ling. Dengan sigap gadis itu melompat ke belakang. Kakinya mendarat di atas sebongkah batu besar yang tertanam di punggung bukit.

Sejenak, kedua penjahat itu terdiam. Sepertinya mereka kelelahan mengejar gadis gesit bermata sipit itu. Walaupun tubuhnya kecil, dia sulit ditaklukan oleh 2 laki-laki yang bertubuh kekar. A Ling pun berdiri memasang kuda-kuda di atas batu sembari melihat lurus ke depan. Bersiap menghadapi serangan berikutnya.

---

"A Ling ...," seorang laki-laki menyapa A Ling. Dengan baju tanpa kancing, orang itu melongo melihat seorang gadis sedang berdiri sembari memegang sapu.

"Eh, Paman ...," A Ling tersipu malu ketika ada orang lain melihatnya berimajinasi sampai naik ke atas meja.

"Paman mau sarapan?"

"Ya, tentu saja. Seperti biasa."

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang