Menyerang, bertahan.
Sebuah strategi klasik dari perkelahian berpasangan. Ketika Anna menusukan sangkur ke wajah pria-pria bertopeng itu, maka Panca bersiap untuk menangkis serangan.
Dari beranda, Wira menyaksikan sebuah pertunjukan yang mengagumkan. Sepasang remaja yang berkelahi seperti sedang menari. Untuk beberapa saat, laki-laki itu terpana sehingga lupa jika seharusnya kedua anak itu dilenyapkan bukan hanya menjadi tontonan.
Kenapa gerakan mereka begitu seirama? Itu yang menjadi pertanyaan Wira ketika menyaksikan kedua anak remaja itu berhadapan dengan anak buahnya. Kedua anak ini yang cekatan atau anakbuahku yang bodoh?
Wira berpikir keras bagaimana mengalahkan sepasang remaja itu. Waktu tidak bisa diulur lebih lama lagi. Apalagi mereka berdua dibantu oleh penembak misterius yang bisa saja menghabisi anakbuahnya satu per satu.
Wira mengarahkan pandangan ke segala arah. Ke kanan, hanya pohon kelapa dan laut lepas. Ke kiri, rumah panggung yang bisa dijadikan tempat bertahan. Ke belakang, si penembak misterius itu pasti berasal dari sana. Ke depan, ada banyak pohon yang bisa dijadikan ... senjata.
Wira mengarahkan pandangan ke atas. Ada pucuk bambu yang melambai meminta untuk dihampiri.
Diilhami oleh pucuk bambu, Wira bergegas menghampiri rumpun bambu yang tidak jauh dari rumahnya. Dengan golok yang terselip di pinggang, dia menebas sebatang bambu kemudian menyingkirkan ranting dan daun yang mengganggu. Memotongnya menjadi tongkat-tongkat yang runcing di ujungnya.
Dengan tongkat yang panjang, Wira berharap bisa menusuk lawan meskipun dengan jarak yang renggang. Ketika Anna dan Panca sulit dikalahkan karena memegang senjata yang lebih panjang, maka Wira berharap kedua remaja itu bisa diserang jika senjata yang digunakan pun seimbang.
Segera, laki-laki itu berlari ke arah kerumunan orang-orang yang sedang saling serang.
"Hiaaaa!" Wira berteriak kencang sambil menusukan tongkat ke arah wajah Panca.
Trak!
Tongkat bambu beradu dengan dayung yang dipegang Panca. Sekali lagi tongkat ditusukan ke arah dada Panca, lagi-lagi serangan itu bisa dipatahkan.
Wira tidak mau memberikan keleluasaan pada Panca, laki-laki itu terus menusuk dan menusuk hingga Panca terdesak ke arah dinding rumah. Sontak, dia sulit untuk menghindar dari serangan.
"Aaaa!" Wira berteriak sambil melayangkan serangan untuk kesekian kalinya.
Hampir saja Panca tertusuk oleh ujung tongkat bambu yang runcing. Tapi, Anna segera menarik tubuh temannya untuk bersembunyi di kolong rumah.
Rumah milik Wira memiliki kolong yang cukup tinggi. Hal itu dimaksudkan untuk menghindar terendam dari air laut kala pasang. Kolong rumah itu cukup untuk berdiri seorang anak kecil. Apabila digunakan sebagai kandang kambing, sepertinya si kambing tidak akan keberatan.
Trang trang trang!
Suara bambu beradu kembali terdengar. Panca dan Anna bisa menjadikan tiang-tiang di kolong rumah itu sebagai tameng. Wira dan anakbuahnya pun kesulitan untuk bergerak masuk ke kolong rumah. Sebuah strategi bertahan yang baik. Tetapi, sekaligus perangkap bagi Panca dan Anna. Mereka seakan dikurung di dalam sangkar, tidak bisa kemana-mana lagi. Semua sisi sudah terkepung.
Anna mulai memutar otak. Bagaimana aku bisa keluar dari kepungan ini?
"Hei bocah tengik, menyerahlah! Kalian sudah terkepung!"
"Tidak! Kita tidak akan menyerah!"
Ayolah berpikir. Anna memusatkan pikirannya. Gadis itu berharap ada ide masuk ke dalam kepalanya.
Tak disengaja, Anna mendongakkan kepala. Di atas kepala Anna terpasang lantai yang terbuat dari papan. Lantai papan di atas kepalanya memiliki celah. Celah itu cukup untuk memperhatikan benda apa yang tersimpan di atasnya. Mungkin sekali di atas kepala Anna adalah kamar pribadi si pemilik rumah.
Mata Anna pun terbelalak. Matanya tertuju pada benda yang tidak asing di matanya. Sebuah bilah bambu dengan tali di kedua ujungnya. Bilah bambu pernah dilihatnya beberapa kali digunakan sebagai tempat untuk menyimpan barang curian atau menyimpan senjata.
Bilah bambu itu, mungkinkah surat tanah milik ayahku ada di sana?
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
AcciónAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...