26

73 22 0
                                    

Anna turun dari pelana kuda. Kini dia berdiri di depan sebuah rumah. Udara pengap di pasar kini berganti dengan udara segar yang ditawarkan rumah itu. Gadis itu berdiri mematung menyaksikan pemandangan di depannya. Rumah ini sudah banyak berubah.

Dengan pekarangan yang dipenuhi oleh berbagai macam bunga.
Dari luar pagar, sulit membedakan antara hutan dengan pekarangan sebuah rumah. Nampak di pandangan mata ada bunga anggrek, jawer kotok hingga daun talas. Pohon mangga pun berdiri kokoh di tengah pekarangan meskipun tidak tumbuh tinggi karena dipangkas.

Jika dibandingkan dengan di sekitarnya, rumah ini tidak terlalu mewah. Sebuah rumah 1 lantai dengan gaya Indo-Eropa. Ada pintu berukuran besar yang bisa dibuka dari kedua sisinya. Jendela-jendela berukuran besar menghiasi tembok putih rumah itu. Atapnya terbuat dari genting masih berwarna merah tanah, sebagai pertanda rumah itu baru saja diperbaiki.

Ketika jendela terbuka, nampak orang sedang bercakap-cakap. Satu orang pria bertubuh gemuk, berwajah bulat dengan dihiasi janggut dan jambang yang lebat. Rambutnya kuning keemasan, seperti bulu-bulu jagung yang telah matang. Satunya lagi, seorang perempuan dengan gaun putih. Mereka nampak akrab, mungkin sekali mereka adalah pasangan pemilik rumah itu.

Dari luar pagar, Anna melihat keakraban kedua orang itu. Mereka sepertinya membicarakan hal serius. Sangat terlihat dari cara mereka berbicara. Mereka nampak tegang.

Pada satu kesempatan, si wanita melirik ke arah luar jendela. Matanya berpandangan dengan Anna. Gadis itu memberi senyuman, sebuah senyuman ramah khas gadis desa. Ketika Anna tersenyum, perbincangan suami istri itu terhenti. Mereka berdua berbalik memandang Anna, mereka berdua tersenyum lebar.

Si wanita berjalan mendekati pintu, kemudian membukanya. Dia berjalan ke arah pagar sambil merentangkan kedua tangannya. Menyambut si tamu.

"Hai Anna, apa kabarmu?"

"Kabar saya ... kurang baik, Nyonya."

"Ooo ... kau begitu berterus terang, Sayang."

Anna hanya tersenyum ketika si empunya rumah meraih tangannya kemudian menuntunnya masuk ke dalam rumah. Di dalam rumah, si pria gendut menyambut Anna dengan penuh kehangatan. Dia menatap Anna dari atas hingga ke bawah kaki. Gadis itu paham maksud tatapan si tuan rumah.

"Saya datang sendiri, berkuda."

"O, Sayang. Pasti ini sesuatu yang penting. Baiklah, baiklah. Kau duduk dulu dan nikmati tehnya."

Seorang perempuan berkebaya membawa secangkir teh. Kemudian meletakannya di meja.

"Aku tahu, kau akan mengatakan jika di tempatmu teh bisa disediakan dalam kolam besar. Tapi, ini yang kami punya."

Anna tertawa. Nyaris saja dia tertawa terbahak-bahak. Untung saja tangan kanannya gesit menutupi giginya yang putih mengkilat.

Si perempuan berkebaya tersenyum pada Anna. Gadis itu pun membalas senyumannya. Senyuman ramah yang terpancar dari seorang pribumi dengan kulitnya yang kecokelatan.

"Bi, apakah Panca sudah datang lagi?" si Nyonya bertanya pada perempuan si berkebaya.

"Belum, Nyonya. Mungkin sebentar lagi."

Anna mengubah rona wajahnya. Mendengar nama "Panca" suasana hatinya kembali berubah. Mungkin yang dimaksud bukan orang yang baru saja bertengkar denganku.

"Kenapa, Anna? Bukankah Raden Panca sahabat karibmu?"

Oh, ternyata isi hatiku bisa ditebak.

"Dia berjanji akan membawa pesanan pot bunga. Demi menghiasi pekarangan yang sebetulnya sudah penuh, Anna." Si tuan rumah menyindir kebiasaan istrinya yang suka mengganti tanaman hias sesuka hatinya.

"Sebenarnya, saya baru saja bertemu anak itu," Anna mengemukakan alasan kenapa dia memasang wajah tidak senang ketika mendengar nama itu.

"Kau bertengkar?"

Anna tersenyum.

"Saya berharap kalian segera berdamai. Karena kalian berdua bukan saja berteman sebagaimana orang lain berteman."

"Ya, saya mengerti jika pertemanan kami juga menjadi modal bagi kerukunan antara orang Eropa dengan orang pribumi. Keluarga saya hidup di tengah-tengah mereka. Jika mereka tidak menghendaki, kami berdua bisa terusir."

"Bagus jika kau bisa mengerti arah pembicaraanku. Lagipula, aku khawatir jika kau menyinggung orang-orang pribumi ... maka keluargamu bisa terancam bahaya. Kau paham kan?"

"Ya, Tuan. Itu pula yang menjadi alasan saya datang ke sini."

Si tuan dan nyonya rumah beradu pandang. Mata mereka melotot karena kaget dengan kalimat yang terlontar dari mulut Anna.

"Ada apa dengan Tuan Eickman?"

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang