75

142 26 11
                                    

Sekian lama telah berlalu ...

Membaca buku menjadi kebiasaan yang ditiru oleh Anna dari mendiang ibunya. Nyonya Eickman mewariskan cukup banyak buku bacaan dengan berbagai tema. Mulai dari novel hingga buku bertemakan politik ada di rak buku.

Malam itu pun Anna asyik membaca salah satu novel berbahasa Inggris yang telah lama tersimpan di rak. Bisa dibilang itu buku langka karena harus diimpor langsung dari negeri asalnya. Sampulnya berwarna cokelat tua, bertuliskan tinta putih dengan cetakan mendalam. Begitu indah dihiasi gambar daun-daun yang beruntai.

Ketika Anna selesai membaca beberapa bab, dia menutup sampul kulit rusa buku di atas meja. Cahaya lampu minyak tidak terlalu membantunya untuk membaca lebih lama lagi. Lagipula, ini sudah saatnya untuk pergi ke kamar dan tidur. Dia harus beristirahat yang cukup karena besok bisa menjadi hari yang berat untuk gadis berambut pirang itu.

"Hai, Nona ...."

Ada seseorang yang menyapa Anna dari arah belakang. Sontak gadis berdarah Eropa itu terkesiap. Dia membalikan badan.

Nampak di hadapan Anna sosok berpakaian serba hitam. Wajahnya pun ditutup kain berwarna hitam. Kepalanya ditutup oleh tudung berwarna hitam pekat. Lebih terlihat pekat karena cahaya lampu minyak tidak sanggup menyentuh tubuhnya.

"Siapa kau?"

"Kau tidak perlu tahu siapa aku."

Anna berusaha beranjak untuk bersiap menghadang orang di depannya. Bagaimana tidak, orang itu sungguh beraura jahat dengan pakaiannya yang serba tertutup.

"Duduk saja, Nona. Aku tidak akan melukaimu," suara orang itu tidak terlalu jelas karena dia bicara dengan tertutup topeng kain.

"Bagaimana kau bisa ada di sini?"

"Kau tidak perlu tahu bagaimana aku ada di sini. Itu bagian dari keahlian kami."

"Kami? Kau tidak sendiri?"

Orang yang ditanya tidak menjawab.

"Nona, aku hanya ingin mengembalikan ini," sosok itu menyerahkan sesuatu pada Anna.

Tangan Anna meraih benda itu, "kau dapatkan ini di mana?"

Orang yang ditanya tidak segera menjawab, dia menghela nafas.

"Kau mencurinya?" Anna mendesak.

"Aku mengambilnya dari orang yang selalu kau percayai. Padahal dialah pencuri sebenarnya."

"Heh, kau datang ke sini hanya ingin membersihkan nama ayahmu, Pratiwi?" Anna tersenyum kecut. Dia mulai menerka siapa orang yang ada di balik topeng itu. Memperkirakan bentuk tubuh serta suaranya, Anna begitu yakin dengan siapa dia bicara.

"Baguslah kalau kau paham. Aku pamit pergi. Urusan kita sudah selesai. Kuharap kau tidak memperpanjang masalah ini."

"Baiklah, aku mengerti."

"Jadi, kita impas."

"Impas? Belum."

"Apalagi Anna? Kau pikir untuk mengembalikan itu ke tanganmu adalah perkara mudah?"

"Menurutku mudah. Kau tinggal meminta surat tanah ini dari ayahmu.  Kau datang ke sini ...."

"Nona, surat tanah itu bukan kuambil dari ayahku. Ayahku hanya wayang yang dikendalikan oleh dalang. Dia hanya orang suruhan."

"Kau mengambil dari dalang pencurian itu?"

"Ya, dan itu bukan perkara mudah."

Anna jadi teringat kata-kata Nyonya Van De Meer tentang mafia yang ingin merebut tanah miliknya.

"Memangnya, siapa dalang dari semua ini?"

"Ah, kalau aku katakan pun ... kau tidak akan percaya."

"Katakan saja, percaya atau tidak ... itu urusanku."

"Kalaupun aku mengatakannya, kau akan berpikir itu adalah fitnah dariku. Jadi kau tidak usah tahu."

"Pratiwi, aku mendengar desas-desus tentang mafia yang ingin merebut tanah milik keluargaku. Anggotanya terdiri dari orang-orang yang berpengaruh di Hindia Belanda."

"Nah, kau tahu itu. Tapi aku tidak punya bukti. Makanya aku tidak ingin banyak bicara. Karena, aku sendiri tidak tahu siapa saja mereka. Bisa saja anggotanya adalah orang yang dekat dengan kita."

"Itu juga alasanmu kenapa kau datang diam-diam ke sini?"

Orang itu menganggukan kepala.

Anna melihat orang di hadapannya hendak melangkah mundur. Sepertinya dia ingin segera pergi.

"Pratiwi, terima kasih ... dan maafkan aku jika ada salah."

Orang itu mundur sambil mengangguk. Dia enggan memperpanjang percakapan dengan Anna. Dia malah membuka daun jendela jelusi di ruang baca, hendak pergi.

"Tunggu, katakan ... siapa dalang semua ini?"

Orang itu tertegun. Kemudian menghela nafas, "kau pernah menginap di rumahnya ...."

Deg, Anna kaget dengan jawaban orang itu. Lututnya terasa lemas. Dia tidak sanggup lagi berdiri.

Anna pun kembali duduk di kursi. Membaca selembar dokumen di bawah cahaya lampu minyak yang temaram. Dokumen yang bertuliskan seberapa luas tanah tempatnya dia berdiri malam itu.

-Selesai-

----------------------------------------

Terima kasih sudah membaca, berkomentar serta memberi tanda bintang.

Sampai jumpa di cerita #serialpanca yang lainnya.

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang