39

69 23 1
                                    

Panca yakin akan apa yang telah dilihatnya. Ketika berada di rumah makan Cina, dia melihat dengan jelas seorang lelaki yang membawa bilah bambu. Mungkin sekali orang itu yang dicari Anna.

Anak remaja itu terus memikirkan kata-kata Anna jika pencuri yang telah menyatroni rumahnya membawa bilah bambu. Sayangnya, hingga kini Anna tidak mau membeberkan pada Panca barang apa yang telah dicuri. Gadis itu tidak ingin semua orang tahu akan informasi penting yang dimaksud. Apalagi, Anna masih menaruh ketidakpercayaan pada Panca.

Ketika hari mulai gelap, Panca hanya duduk termangu di belakang pedati. Dua ekor sapi yang menarik kendaraan itu kini sedang merebahkan diri, beristirahat. Berbeda dengan pemiliknya, dia sulit untuk sekedar merebahkan diri.

"Raden, sudah saatnya kita tidur. Besok pagi kita pulang," seorang pedagang mengajak Panca untuk segera beristirahat.

"Saya belum mengantuk, Paman."

"Ya, tapi kita harus menyiapkan tenaga untuk besok."

Panca hanya menatap sekilas beberapa pedati yang berparkir di jalan menuju pasar. Pedati-pedati itu berjejer hingga menutupi badan jalan. Ketika malam tiba, pemiliknya biasa tidur di sana sambil menjaga barang dagangan mereka.

Dari kejauhan, terlihat cahaya lampu petromak yang dibawa oleh polisi yang sedang berpatroli. Dari arah lain, terlihat kereta kuda yang melintas. Batavia kala malam tidak seindah ketika siang menjelang. Gelapnya kota itu hanya membawa pesan ketidaknyamanan bagi penduduknya.

Terlintas dalam pikiran Panca untuk menapaki jalan di saat gelap. Sekedar menghirup udara segar kala hujan telah reda. Airnya menyapu debu-debu yang beterbangan walaupun tergantikan oleh lumpur setinggi mata kaki.

Kaki telanjang Panca bersentuhan dengan lumpur yang menggenang. Dia sulit menentukan ke mana arahnya melangkah, hanya saja jari-jarinya kakinya semakin mendekati kanal. Karena gelap, dia sulit melihat seberapa deras air yang mengalir di kanal.

"Raden, mau ke mana?"

Panca kaget dengan seseorang yang bertanya dari arah belakang. Suaranya terdengar familiar.

"Hanya cari angin, Paman."

"Sebaiknya kau segera tidur. Batavia bukan tempat yang aman kala malam."

Panca tidak bisa memastikan siapa yang sedang bicara. Sumber cahaya masih jauh letaknya dengan tempat mereka berdua.

"Paman, sedang apa di sini?"

"Hanya jalan-jalan, sama sepertimu."

Panca menerka jika laki-laki itu menghampiri dirinya ada sesuatu yang ingin disampaikan. Panca yakin jika orang ini bukan salah satu pedagang yang sama-sama memarkirkan pedati di badan jalan.

"Paman, saya permisi."

"Tunggu dulu, Raden."

"Ya, ada apa, Paman?"

"Raden Panca, saya tahu jika kau adalah keponakan Raden Aditama. Kau mendapatkan perlindungan di kota ini. Tapi, bukan berarti kau berhak ikut campur dalam urusan orang lain di sini."

"Saya tidak mengerti apa yang Paman maksud?"

"Setiap orang punya urusannya sendiri-sendiri. Ingat, jika kau bersikeras turut campur dengan urusan orang lain ... maka jangan salahkan jika ada yang berani melukaimu. Bahkan membunuhmu."

Panca tersentak dengan pernyataan orang di hadapannya. Anak remaja itu tidak memberikan tanggapan apa-apa. Dia hanya memperhatikan orang itu hingga dia berjalan menuju pinggir jalan. Ada lampu jalan yang menerangi sekitarnya.

Ternyata dia!

Dari kejauhan, Panca bisa melihat cukup jelas siapa yang tadi bicara dengannya. Pria berbaju dan bercelana hitam, memakai caping serta membawa bilah bambu bertali yang menggantung di pundak.

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang