34

66 20 0
                                    

A Ling duduk di bangku ketika sedang diobati oleh tabib. Sedangkan Panca duduk di bangku lain. Mereka berdua saling tatap. Merasa kasihan satu sama lain.

"Apakah kau tahu kenapa Anna bisa berkelahi dengan orang itu di pinggir kanal?"

"Tidak, Raden. Saya hanya tahu ketika mereka sudah berkelahi."

"Nampaknya Anna semakin marah ketika dia tahu jika saya bisa membuat orang itu lari dan kemudian pergi melewati jembatan."

"Anna masih menganggap kau bagian dari mereka, Raden."

"Ya, sepertinya begitu."

"Saya hanya tahu jika Anna begitu bersemangat merebut sebilah bambu yang dibawa oleh orang itu."

"Sebilah bambu?"

"Ya, tapi isinya tidak sesuai dengan apa yang dicari."

"Itu juga yang menyebabkan keributan di pasar. Seorang penjual air nira dituduh sebagai pencuri karena dia membawa bilah-bilah bambu."

Ada apa dengan bilah bambu itu? Kenapa bilah bambu?

Pikiran Panca mempertanyakan apa yang dicari oleh Anna. Anak remaja itu tertegun, kemudian memejamkan mata. Dia menghela nafas panjang, suatu hari yang menguras tenaga.

Ketika matanya dibuka, Panca menyaksikan orang-orang yang berdatangan ke rumah makan Cina itu. Di luar hujan semakin deras. Tubuh orang-orang itu nampak basah. Selain mencari tempat berteduh, sepertinya mereka mencari tempat untuk mengisi perut di tengah hari. Makan siang.

"Raden, sebaiknya kau makan dahulu. Waktu makan siang sudah tiba."

"Aku tidak punya selera untuk makan, A Ling."

"Raden, aku tahu apa yang kau pikirkan."

"Memangnya kau tahu apa tentang apa yang kupikirkan?"

"Aku yakin, ketika hujan reda kau akan keluar dan mencari Anna. Iya kan?"

Panca tersenyum.

"Makanlah dulu, kau perlu banyak tenaga untuk menjalani apa yang kau rencanakan."

"Daganganku belum laku."

"Ah, kali ini kau bisa makan gratis."

"Ah, aku malu."

"Uang dari Anna masih aku simpan."

Panca menatap A Ling sambil tersenyum.

"Hei, kenapa kau tersenyum padaku?"

"A Ling, sekarang nafsu makanku mulai muncul."

"Ya, sepertinya begitu."

"Kau tahu kenapa? Uang yang tadi disimpan di atas meja oleh Anna ... itu pertanda ...."

"Pertanda jika dia menginginkan kau tetap di Batavia ...."

"Dan membantunya."

Tanpa menunggu waktu lebih lama lagi, A Ling menyajikan hidangan kesukaan Panca. Sepiring nasi dan ikan laut. Menu yang tidak bisa didapat di desanya karena jauh dari laut. Hanya sesekali dia mendapatkan ikan gabus dari sungai yang kebetulan mengalir melewati desa tempat tinggalnya.

Bagi Panca, kini Batavia sudah menjadi tempat tinggal kedua setelah Desa Pujasari. Sebuah desa yang jauh ke arah selatan dari Batavia. Ketika berjualan gerabah memerlukan waktu beberapa hari, maka rumah makan Cina tempatnya makan kini menjadi tempat berteduh yang terbaik. Sungguh beruntung dia mengenal A Ling dan kedua orang tua angkatnya. Mereka menerima dengan baik kehadiran anak remaja itu.

"Raden, apa kabar?"

Panca berhenti mengunyah ketika ada seseorang yang menyapanya. Seseorang yang tidak asing baginya. Dia bukan orang yang akrab dengan Panca tetapi sering melihatnya berada di Batavia.

"Alhamdulillah saya baik, Paman. Paman sendiri?"

"Ah, kabar saya kurang baik."

Panca tersenyum. Orang itu memanggil A Ling untuk disediakan minuman.

Trek, Panca mendengar suara benda disimpan di atas meja. Dan, Panca tahu sekali benda apa itu.

Sebilah bambu yang diikat kedua ujungnya. Seutas tali yang terbuat dari ijuk berfungsi sebagai selempang jika dibawa. Ujung satunya disumbat oleh kayu dan ujung lainnya tersumbat secara alami oleh buku-buku bambu itu.

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang