Braaakkk!
Anna menendang papan di atas kepalanya. Kakinya yang jenjang seakan mudah membuat papan itu hancur lebur. Sepatu bot kulit lembu cukup membantu papan itu menjadi kepingan tak beraturan.
Di dalam rumah, ada seorang wanita dan anak kecil. Wanita dan anak kecil yang sedang bersembunyi di dalam ruangan itu pun dibuat terkejut. Wanita yang tadi menyuguhkan makanan ternyata masih ada di dalam rumah. Begitu juga anak kecil itu. Mereka berdua bersembunyi dari perkelahian yang sedang terjadi.
Panca pun dikagetkan dengan apa yang dilakukan oleh temannya. Kini, ada lubang yang cukup untuk seseorang masuk ke dalam ruangan di atasnya. Panca menyaksikan bagaimana penghuni rumah di dalamnya terlihat ketakutan.
"Tenang, kami tidak akan melukaimu," Panca mencoba meyakinkan wanita dan anak kecil yang saling berpelukan.
Mereka berdua tidak menjawab.
Bagi Anna, ini kesempatan untuk masuk ke dalam rumah itu. Gadis itu tidak banyak berbasa-basi. Dia melompat ke dalam ruangan itu. Dia meraih sesuatu yang selama ini dicarinya. Bilah bambu dengan tali dikedua ujungnya. Benda itu bersandar ke dinding seakan bukan sesuatu yang penting.
Bilah bambu yang dipegang oleh Anna memiliki tutup di kedua ujungnya. Ketika kedua tutupnya dibuka, sungguh di luar dugaan Anna. Gadis itu menatap wanita dan anak kecil yang saling berpelukan di sudut ruangan.
"Kami tidak tahu apa-apa, jangan lukai kami," wanita itu memohon belas kasihan Anna.
Ketika menyaksikan Anna tidak mendapatkan apa yang dicarinya, Panca merasakan kekecewaan yang sama. Anak remaja itu menghela nafas panjang. Hingga dia lupa jika di depannya ada seseorang yang datang.
Seorang laki-laki bertubuh kerdil berlari menghampiri Panca. Di tangannya ada 2 bilah pisau yang terhunus. Siap untuk melukai siapa pun yang hendak dilukai.
"Aaaarghhh!"
Sebilah pisau ditusukan ke arah kepala Panca.
Panca bisa mengelak. Tetapi Si Cebol tidak menghentikan serangannya. Ketika pisau di tangan kanan gagal mengenai tubuh lawannya, maka ditusukanlah pisau yang dipegang oleh tangan kiri. Sttt!
Serangan dari Si Cebol yang bertubi-tubi cukup menyulitkan Panca. Di balik tubuhnya yang kecil, ternyata nyali orang kerdil itu besar juga. Berkali-kali dia menusukan kedua pisau di tangannya, berkali-kali juga dia gagal.
Pertarungan antara Panca dengan Si Cebol menjadi arena tersendiri di kolong rumah. Ditambah, tongkat-tongkat bambu runcing yang terus ditusukan oleh teman-teman Si Cebol cukup membuat Panca kewalahan. Ini menjadi perkelahian yang tidak seimbang.
Panca masih berharap jika si penembak misterius datang membantunya. Entah kenapa, kini suara tembakan itu tidak terdengar lagi. Apakah mungkin dia sudah pergi?
Sementara itu, Anna masih mencari-cari surat tanah milik keluarganya di dalam rumah panggung. Anna mengobrak-abrik seisi rumah sambil terus berharap mendapatkan apa yang dicarinya. Setiap sudut ruangan dipandangi gadis itu. Rumah milik Wira bukanlah rumah besar yang memiliki banyak ruangan. Hanya ada 1 kamar tidur, ruang tengah kemudian dapur. Dan, semua ruangan itu sudah diselidiki oleh Anna.
"Kalian tahu sesuatu?" Anna menatap tajam wanita dan anak kecil yang masih duduk di sudut ruangan.
"Kami tidak tahu apa-apa. Apa yang Nona cari pun saya tidak tahu."
"Aku tidak akan menyakiti kalian. Aku hanya mencari selembar kertas yang telah dicuri oleh suamimu."
"Dia bukan suami saya, Nona. Lagipula saya tidak pernah melihat apa yang dimaksud."
"Kalian jangan bohong?"
Ketika Anna sedang mengintrogasi wanita dan anak kecil itu, ternyata Panca sudah berdiri di belakang Anna. Panca mengikuti temannya masuk ke dalam rumah melalui "pintu" yang telah dibuat Anna.
"Ayolah, kami tidak menyakitimu. Jujur saja!" Panca membantu Anna menenangkan orang yang sedang ditanyai.
"Kami tidak bohong, Raden. Kami tidak tahu apa-apa. Kami berdua baru tiba di sini beberapa hari lalu."
"Maksud Nyai, sebelumnya Nyai tidak tinggal di sini?"
"Ya, Raden. Saya bukan istri ...."
Kalimat yang terlontar dari mulut wanita itu belum selesai diucapkan, justru Wira datang melalui pintu. Dia berteriak keras pada Anna dan Panca.
"Hei, sudah kukatakan apa yang kau cari itu tidak ada di sini. Dasar bocah tengik!"
Anna menanggapi perkataan Wira dengan tatapan nanar. Panca pun malah bersiap-siap untuk menghadang jika sewaktu-waktu Wira bermaksud melukai dirinya.
"Aku tidak mencuri apa pun dari rumahmu!"
"Kau pasti menyembunyikannya di tempat lain!"
Wira menggelengkan kepala.
"Paman, jika kau tidak mencuri milik Nona Anna, kenapa kau begitu bernafsu ingin menghabisi kami? Jika kau tidak punya salah, kenapa kau begitu ketakutan jika kami tetap hidup?"
Wira seakan berpikir untuk menjawab pertanyaan Panca.
"Karena ... kalian penghalang bagi rencanaku!"
"Apa yang kau rencanakan?"
"Kau tidak perlu tahu."
Wira berjalan mendekati Anna dan Panca. Di tangan orang itu, sebilah golok berkilauan terpapar sinar matahari yang masuk melalui jendela. Di belakang Wira, berjalan anakbuahnya yang masih tersisa.
Kini, rumah itu dipenuhi orang-orang yang telah menghunuskan senjata mereka masing-masing. Wajah mereka dipenuhi dengan kebencian. Sayang, itu tidak terlihat jelas karena tertutup sehelai kain.
Anna bersiap-siap dengan senapan yang dilengkapi sangkur. Panca pun masih setia memegang dayung untuk dijadikan senjata.
Ketika Wira dan anakbuahnya semakin mendekat, terlintas dalam pikiran Panca untuk melakukan sesuatu. Di sebelah kiri Panca, ada jendela yang terbuka lebar. Hembusan angin seakan memberi tahu mereka jika perkelahian harus segera dihentikan.
"Hei, kalian mau ke mana?"
Wira berteriak pada Panca dan Anna yang melompat ke luar jendela. Serta merta anakbuahnya berhamburan keluar demi mengejar sepasang remaja yang baru saja membuat onar di rumah itu.
"Tangkap mereka!"
KAMU SEDANG MEMBACA
Panca dan 3 Gadis Tangguh
ActionAnna menatap wajah Ayahnya. Meskipun samar, dia bisa melihat sorot mata pria itu. Ada sesuatu yang dipikirkan orang itu. Tapi, Anna tidak tahu sebelum dia tahu apa yang terjadi. "Apa yang sebenarnya terjadi?" "Nanti kita bicara, kejar dia Anna. Beri...