28

70 21 0
                                    

Anna tertegun sendirian di pinggir jalan. Gadis itu mulai berpikir untuk kembali pulang ke Perkebunan Tuan Eickman. Lebih baik pulang meskipun tanpa hasil.

"Bagaimana menurutmu, apakah aku harus pulang?" Anna bertanya pada si kuda yang menggoyangkan kepalanya.

Usahanya untuk memperoleh kembali surat tanah itu tidak berhasil, nihil. Tuan Van De Meer tidak bisa membantu menerbitkan surat tanah yang baru dalam waktu dekat. Membutuhkan waktu lama agar tanah milik keluarga Anna kembali memiliki surat tanah. Padahal, surat tanah itu diperlukan dalam waktu dekat agar Perkebunan Tuan Eickman  memiliki bukti kepemilikan atas tanah yang ditanami.

Tanpa semangat, Anna menaiki pelana kuda. Si kuda pun berjalan pelan, tanpa tujuan. Mereka hanya menyusuri jalanan menuju kanal demi mencari tempat untuk berteduh dan merumput.

Kala itu, banyak kuda yang dibiarkan merumput di pinggir kanal. Di sana tumbuh subur rerumputan karena dekat dengan sumber air. Tanah bisa menyerap air dari kanal kemudian rumput pun punya sumber tenaga untuk menyegarkan diri.

Sepertinya, ini tempat yang nyaman untuk menenangkan diri. Anna duduk di pinggir kanal. Menatap tenangnya air yang mengalir. Di atas rumput dia merebahkan diri. Kepalanya ditaruh di atas kedua tangannya. Demi menghalangi silaunya sinar mentari, topi pun dijadikan penghalang wajah.

Anna tidak menghiraukan suara-suara di sekitarnya. Kanal di Batavia yang senantiasa ramai oleh orang yang sekedar jalan-jalan, memandikan kuda atau membersihkan tubuh mereka. Bagi Anna, suara-suara itu hanya hiburan bagi hatinya yang sedang dilanda kegalauan.

"Nona, sayang sekali ... usahamu tidak berhasil."

Jelas sekali terdengar orang bicara. Anna membuka topi yang menutupi wajahnya, berharap bisa tahu siapa yang berbicara.

"Saran saya, sebaiknya Nona pulang saja. Dan, katakan pada ayah anda jika sudah saatnya kalian pergi dari perkebunan itu."

Deg, jantung Anna seakan terhenyak oleh kalimat yang terlontar dari orang di hadapannya.

"Hei, siapa kau? Apa maksudmu?"

Orang yang diajak bicara tidak segera menjawab. Dia lebih suka berdiri mematung sambil membelakangi Anna. Wajahnya menghadap ke aliran kanal yang tenang, hanya riak kecil dari sampan yang membuat air itu berubah gelombangnya.

Anna berjalan beberapa langkah menghampiri orang di tepi kanal. Tangan kiri Anna memegang pundak orang itu.

"Hei, bicaralah!"

"Nona, jaga sikapmu!"

Tangan kiri Anna dipegang orang yang  terdengar memiliki suara berat, seorang pria. Meskipun tidak jelas karena mulutnya tertutup kain, Anna bisa melihat sorot mata orang itu. Anna mengenal sorot mata itu. Meskipun kepalanya tertutup caping, Anna masih ingat bentuk kepala dan wajah orang itu. Bentuk dagu serta rahangnya, aku ingat.

"Kau kan yang mencuri di rumahku tempo hari?"

"Ah, Nona ... jangan kau biasakan menuduh sembarang orang tanpa bukti."

Anna tidak bisa menahan emosi. Gadis itu begitu yakin dengan apa yang dilihatnya. Tangan kanannya melayangkan pukulan ke arah pipi orang itu. Wushh! Angin dari pukulan malah mengenai caping. Dan, hampir saja benda itu jatuh.

Hep! Si pemilik caping sigap memegang penutup kepala yang terbuat dari anyaman bambu itu. Orang itu tidak mau penyamarannya terbuka makanya dia sangat menjaga penutup kepala yang biasa dipakai petani itu. Sungguh di luar dugaan Anna, caping itu dijadikan senjata untuk memukul kepala Anna. Untungnya Anna sigap menghindar.

"Kau pintar juga," tangan kanan si pemilik caping mengenakan kembali penutup kepala favoritnya.

"Hei, di mana benda yang kau curi?"

"Kau mau tahu, Nona? Sebaiknya ... kau tidak usah mencarinya lagi. Benda itu sudah musnah."

"Hei, kau apakan surat tanah milik ayahku?"

"Hahaha ...," si pria bercaping malah tertawa lepas.

Anna sudah tidak sabar lagi dengan gaya bicara orang di hadapannya. Dia terlalu bertele-tele.

Kaki kiri Anna melangkah ke depan. Pijakannya dijadikan tumpuan. Dan, "hiaaat!" Anna menerjang ke depan.

Kaki kanan gadis itu melayang di udara. Hanya berjarak beberapa centimeter dari wajah orang itu, sepatu but Anna ternyata terlebih dahulu ditangkis oleh benda yang tidak asing di mata Anna.

Trakk!!

Kedua benda itu beradu.

Anna tidak sanggup menahan hentakan dari sebilah bambu yang dipegang erat oleh si pria bercaping.

"Hei, ternyata kau memegang benda itu! Kembalikan!"

"Haha, kau mau ini? Nih!"

Sebilah bambu di tangan kanan pria bercaping melayang ke arah kepala Anna. Gadis itu belum siap untuk menangkis. Kaki kirinya terpeleset. Dia terjatuh ke belakang.

Taak!!

Bilah bambu itu ternyata ditangkis oleh seseorang yang tiba-tiba saja datang. Benda itu beradu dengan sebuah keranjang kosong. Dan, kejadian itu tepat di depan mata Anna.

"Kau?" Anna kaget dengan kedatangan seseorang yang tiba-tiba.

Panca dan 3 Gadis TangguhTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang