Menjemput.

5K 735 63
                                    

Menjemput Naga tak ada dalam rencana Prisha hari ini. Namun, tadi sewaktu Sutha hendak membukakannya pintu mobil yang tentu akan pria itu kendarai untuk mengantarkannya kembali ke rumah tiba-tiba Prisha diterjang oleh sekelumit keragu-raguan.

Bisakah dia pulang dalam kondisi pikirannya yang keruh nan semerawut seperti saat ini?

Begitu banyak pertanyaan yang menggulung-gulung bagaikan pusaran beliung dalam benaknya, yang bahkan Prisha tidak tahu dari mana dia bisa dapatkan jawabannya? Well, mungkin di antara Paradikta dan ibu. Sayangnya, meski ada kemungkinan kedua orang itu bakal memberi tahu justru Prisha lah yang takut bertanya lebih dulu karena, mungkin jauh di dasar hatinya bahkan tanpa perempuan itu betul-betul sadari dia juga takut untuk mendengar jawaban yang sebenarnya.

Oleh sebab itu, dia butuh udara segar. Toh, di rumah pun dia agaknya akan dibatasi untuk menggunakan dapur oleh Mbok—sementara memasak, utamanya dari hasil berkebun adalah salah satu cara yang selama ini Prisha familiari guna meredakan setiap kegundahannya—maka, Prisha memilih segera menolak niatan Sutha. Dia memutuskan pulang sendiri dengan memesan taksi online. Tujuannya tentu bukan rumah, tapi sekolah Naga.

Lalu, setelah nyaris satu jam perjalanan yang berat sebab dia tak mau menyerah guna menggali tiap-tiap detail memorinya tentang wanita asing itu yang justru berujung menimbulkan sakit kepala hebat, akhirnya Prisha pun tiba. Tidak terlalu banyak mobil yang tampak terparkir di area Preschool. Entah, boleh jadi ya karena memang belum jamnya anak-anak pulang. Masih ada sekitar satu jam-an tersisa dari normalnya kegiatan Naga usai di sekolah.

Prisha sendiri turun dari taksi bersama kaki yang dia seret dan sedikit terpincang. Hish! Naga tentu nggak boleh lihat soal ini. Anak itu peka sekali. Dia pasti akan langsung bertanya kenapa Prisha bisa begini? Dan, Prisha tidak ingin berbohong. Jadi, jelas tak ada jalan terbaik selain menahannya supaya tak seorang pun dapat melihatnya.

Iya, siapa pun.

Perempuan itu baru hendak meraih railing tangga untuknya bertumpu agar dia bisa naik mencapai pintu masuk lobby saat seseorang tiba-tiba terasa meraih sebelah tangannya yang bebas. Prisha yang terkejut sontak berusaha menarik kembali tangannya, tapi sulit sebab itu terasa bak dicekal erat, dan ketika dia menoleh Paradikta yang berkemeja hitam di mana tadi pagi dia berpamitan bersama Naga dalam gandengannya sembari berdadah-dadah heboh padanya kini sudah berdiri di hadapan Prisha seraya memamerkan gandengan tangan mereka.

Oh, astagaaa!

"Bilang dong," ujar pria itu dengan mata yang lantas menatap Prisha lekat tepat setelah tangan mereka tak lagi saling terikat.

Bukan cuma merasa aneh gara-gara mendadak ditatap sedalam itu, Prisha yang diam-diam kehilangan rasa hangat di bekas genggaman mereka, toh juga tak mengerti mengapa Paradikta yang mestinya ada di Cévo tiba-tiba ada di sana, dan dia juga sama sekali tak dapat memahami maksud dari kalimat tanya tersebut sehingga dia hanya lemah menggumam, "Mm?"

Suara Paradikta terdengar enteng sekali kala kilat saja membalasi, "Kalau mau datang menjemput."

Tanpa suara Prisha kemudian ber-oh pendek.

Namun, kesantaian itu rasanya baru sedetik Prisha resapi sebelum Paradikta kembali datang dengan kalimatnya yang lain, "Dan, kalau habis jatuh."

"Hah?"

Pandangan Paradikta sekarang menggelincir ke kaki Prisha yang sejak tadi sebetulnya terus coba perempuan itu sembunyikan dalam kungkungan rok bunga-bunganya. Walau mungkin tak membantu banyak sih utamanya bila itu di depan mata Paradikta yang kelewat jeli. Uh, jangankan pergelangan kaki Prisha yang memerah sekaligus mulai terasa sesak di sandalnya, lubang semut di gunung sekali pun bisa saja Paradikta lihat. Okay, itu mungkin berlebihan, tetapi mengelabuhi Paradikta tentulah tidak mungkin semudah berkelit dari toddler seperti Naga.

Jangan Ada Air MataTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang