DILEMA

261 42 0
                                    

Di ruang rawat inap itu Arfi kembali berbaring di bangsal, usai perbincangan singkat mereka tadi ada dokter yang memeriksa keadaannya untuk memastikan bahwa kondisi si pasien sudah pulih meskipun begitu sang dokter masih belum mengijinkannya pulang dan harus dirawat beberapa hari
ke depan. Seperti saat ini Arfi sedang menikmati makan malamnya yang baru diantarkan  petugas klinik tersebut.

Rani pun masih setia di sampingnya dan kini ia mulai membantunya duduk bersandar di headboard bangsal tempatnya berbaring. Ia mulai membuka nampan yang berisi menu makanan untuk diberikan pada lelaki itu.

"Kak, aku suapi ya?" tawar Rani.

Arfi hanya mengangguk, pikirnya kegirangan kapan lagi diperlakukan manis oleh sang pujaan hati.

Dengan telaten gadis itu melakukan tugasnya. Dia menatap Rani tanpa berkedip, hingga di suapan terakhir memegang tangan gadis itu dan digenggamnya erat. Rani terpaku diam membatu di tempat.

Sejak tadi dirinya berusaha keras mati-matian meredam degub jantung yang bertabuh kian riuh saat ditatap seintens itu. Sampai-sampai tidak berani membalas tatap netra hitam legam begitu meneduhkan. Dia salah tingkah dengan perasaan tak karuan.

"K---kak!" panggil Rani.

"Iya, Sayang."

Dengan cekatan gadis itu melepaskan tangannya dari genggaman Arfi.

"Kenapa?" Arfi tampak kecewa dengan sikap Rani.

"A---ku beresin ini dulu ya, Kak?"  ujarnya gugup.

"Udah nanti aja!" Tolong temani aku dulu," pinta Arfi.

Rani yang tadi sempat membelakanginya seketika balik badan.

"Tolong katakan dengan jujur! Apakah selama ini Kamu pernah membalas perasaanku walau hanya sedikit saja?" tanya Arfi sungguh-sungguh.

"Aku tak akan memaksamu dan tak akan bertanya lagi padamu setelah Kamu berkata jujur. Aku hanya ingin tahu, Kamu mengatakannya langsung dari bibirmu. Sungguh aku takkan mengingkari janjiku," lanjutnya beri keyakinan.

Rani bungkam seribu bahasa seakan bingung mengucap sepatah kata. Lidahnya kelu seperti kehabisan kata tak bisa bicara. Hatinya diliputi kegamangan. Takut jika hati tak bisa sepenuhnya ia berikan pada Arfi. Lima belas menit berlalu, Arfi masih setia menunggu kata demi kata yang terlontar dari bibir gadis pujaannya. Tanpa disadari, sudut netra lelaki itu dibanjiri air mata menunggu jawabannya.

Rani yang melihat kemuraman menyelimuti seraut wajah penuh kasih perlahan menyeka bening-bening embun di pipi lelaki itu. Kemudian ia turut menangis dalam rengkuhan Arfi.

"Maafkan aku, Kak! Sedikit pun aku tak bermaksud menggantungkan perasaanmu. Aku hanya takut jika hati ini tak sepenuhnya bisa kuberikan untukmu," ungkap Rani di antara tangisnya.

"Apa Kamu meragukan perasaanku? Dengar, Ran. Aku akan menunggu sampai Kamu benar-benar siap menerimaku. Tapi bolehkah aku berharap, jika  nanti aku yang akhirnya Kamu pilih. Berikan kesempatan itu sekali saja untukku. Dan aku akan memantaskan diriku agar layak mendampingimu," urai Arfi penuh kesungguhan.

Rani tak sanggup menolak permohonan lelaki yang mendekapnya kini. Dia pun mengangguk seraya membalas rengkuhan yang memberikan ketenangan hatinya. Kelegaan hati Arfi begitu terasa tatkala menyimak ekspresi Rani penuh haru.

Kini ia menangkup pipi kiri gadis itu untuk menyeka air mata yang menumpuk di kedua sudut netra. Jari telunjuk dan jempolnya menarik sudut bibir  Rani ke atas untuk melengkungkan senyum.

Rani pun melakukan hal yang serupa pada Arfi dengan jarinya menyentuh sudut bibir agar turut tersenyum. Kedua kening mereka saling beradu satu sama lain mencurahkan segala rasa yang kian menyeruak.

PENJAGA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang