UNGKAPAN RASA YANG SAMA

375 43 3
                                    

Semilir sang bayu membelai dedaunan. Reranting kering berjatuhan. Sang ratu malam tersenyum menawan. Seindah lengkung senyum dua sejoli yang sedang kasmaran. Dunia seolah hanya milik dua insan. Di tiap malam segala asa ia semayamkan sebait doa. Segala pinta disenandungkan pada Sang Maha Cinta agar dua hati disatukan selamanya.

Dalam hening di sepertiga malam, harapan dan doa selalu Arfi panjatkan untuk meluluhkan hati seorang insan. Hati yang telah ia jatuhkan pilihan. Semoga kelak cinta mereka bermuara dalam fitrah yang disatukan semesta.

Sejak kepulangannya dari klinik seminggu yang lalu, kondisi Arfi semakin membaik. Semua karena ketlatenan Rani yang telah merawatnya dengan baik. Rani sangat protektif terhadapnya sejak ia sakit. Terkadang jika sifat keras kepalanya muncul, gadis itu selalu punya cara agar ia tak bisa membantah. Seperti kejadian tiga hari yang lalu, ketika ia merasa bosan berada di rumah terus menerus dan berinisiatif untuk masuk ke kantor secara diam-diam mencuri kesempatan saat Rani ada panggilan mendadak dari pihak agency tentang jadwal yang mengalami perubahan dimajukan tiga hari dari rencana semula, membuatnya leluasa untuk pergi. Sedangkan Helsa tentu saja ia sedang bertugas di klinik dan kebetulan selama seminggu ini masuk shift pagi.


Tiga hari yang lalu

Arfi menuruni tangga dengan setelan semi formal bersiap ke kantor saat bi Ijah beres-beres di ruang tamu dan menoleh ke arahnya seraya bertanya.

"Loh Mas Tira mau kemana to? Kok sudah rapi begitu."

Arfi sejenak menghentikan langkahnya dan mendekati bi Ijah yang sedang menjeda pekerjaannya sejenak.

"Saya mau ke kantor, Bi. Tolong jangan bilang sama Rani kalau saya pergi. Bilang aja hari ini sedang istirahat di kamar tak mau diganggu," bisik Arfi di dekat telinga bi Ijah.

"Duh gimana yo, Mas. Saya kok nggak berani. Takut kalau nanti diomelin sama neng Rani," tolak bi Ijah.

"Ya ampun, Bi. Cuma hari ini aja saya keluarnya. Saya mohon ijin Bi Ijah sekali ini saja," pinta Arfi.

"Beneran, Mas Tira. Saya nggak berani. Tadi saja saya sudah diwanti-wanti sama neng Rani."
(Wanti=pesan)

"Gini aja, saya kasih ini. Bi Ijah bisa beli apa aja yang Bibi sukai."   Arfi menyodorkan lima lembar uang seratus ribuan pada bi Ijah agar wanita paruh baya itu bersedia diajak kerjasama.

"Gimana yo, Mas?" Bi Ijah mempertimbangkan penawaran Arfi.

"Udah jangan kelamaan mikir nanti saya keburu kesiangan!" Arfi segera membuka genggaman tangan bi Ijah dan meletakkan uang tersebut agar diterima meskipun ART itu tampak takut dan ragu menerimanya.

Bi Ijah mengangguk pasrah atas permintaan majikannya itu. Arfi mengulas senyum kemenangan.

"Tapi jangan lama-lama yo, Mas! Nanti neng Rani keburu pulang dan saya takut kena omelan." Bi Ijah mengingatkan Arfi agar segera kembali sebelum Rani pulang.

"Tenang aja, Bi. Lagian Rani nggak pernah berani ngomelin Bibi yakin deh. Dia itu, kan nggak suka marah-marah," tandas Arfi agar bi Ijah merasa tenang.

"Justru orang yang nggak banyak bicara kalau sedang marah malah serem," sahut bi Ijah bergidik ngeri membayangkan sikap diam Rani.

Dengan berat hati bi Ijah tetap mengijinkan Arfi pergi ke kantor sambil  menatap punggung majikannya itu seakan tidak rela berlalu begitu saja. Dalam hatinya begitu was-was kalau terjadi sesuatu menimpanya.

Tepat seperti dugaannya, jika Arfi benar-benar pergi melebihi waktu yang ditentukan. Ia mengira bahwa lelaki itu hanya sebentar saja berkunjung ke kantor. Pada kenyataannya si majikan tersebut berada di kantor hingga jam dua belas siang dan baru tiba di rumah sekitar jam satu siang.

PENJAGA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang