PENYEKAPAN

264 40 13
                                    


Cahaya mentari sangat terik. Suhu panas begitu terasa di musim pancaroba yaitu masa terjadinya transisi atau peralihan antara musim penghujan dan musim kemarau maupun musim kemarau berganti musim penghujan. Hawa panas terasa di kota besar seperti di Jakarta saat ini.

Di dalam ruangan yang luas tanpa sekat yang didominasi warna hijau tosca tampak seorang perempuan terikat kaki dan kedua tangan di sebuah kursi dan mulutnya dibekap kain selebar sapu tangan. Wanita itu adalah dokter muda berparas elok menawan kaum Adam. Perempuan itu sengaja diculik oleh seseorang atas perintah atasan. Rival yang menyuruh adalah seorang pria yang menyimpan dendam pada Arfian Yudhistira.

"Gimana? Kamu sudah melakukan apa yang kusuruh?" tanya seorang pria pada salah satu anak buahnya melalui percakapan telepon.

"Seperti permintaanmu. Karena aku sudah berhasil, Kamu harus segera selesaikan pembayarannya," pinta si anak buah.

"Tentu, tapi satu tugas lagi yang harus Kamu kerjakan. Pastikan keberadaannya aman dan jangan sampai lolos. Aku butuh dia sebagai umpan untuk memancing Yudhistira keluar dari persembunyiannya."

"Beres!"

Tut

Sambungan telepon pun berakhir. Pria itu tersenyum puas setelah mengecek saldo rekening yang telah bertambah seperti permintaannya beberapa menit yang lalu.

"Ternyata gampang banget membodohi dokter cantik itu. Emang dia nggak bisa bedain suara temennya apa bukan. Emang kemampuanku mengubah suara nggak bisa diragukan. Pantes aja orang-orang kayak mereka gampang diperdaya. Lumayan dah upahnya. Kalau sering gini bisa cepet kaya deh," ucap pria itu tersenyum bangga pada dirinya.

Pria itu berjalan mendekat ke arah pintu tempat perempuan yang tadi disekap. Dia mengecek apakah dokter muda tersebut masih bernapas atau tidak. Sebab si penyuruh meminta agar perempuan itu harus dalam keadaan baik. Dengan begitu akan mudah memuluskan rencana untuk memancing Arfian Yudhistira. Dia berjalan mendekati perempuan itu bermaksud membuka kain yang diikatkan di mulut perempuan tersebut. Selesai membuka kain tersebut, dia tersenyum iblis. Memandangi paras elok perempuan itu tanpa berkedip.

"Kalau bukan perintah si Bos aku pasti sudah mengambil sesuatu yang berharga darinya. Sayang banget kalau seorang daun muda secantik ini dilewatkan begitu saja," gumamnya masih dengan tatapan tak senonoh membayangkan betapa moleknya tubuh mulus dokter muda itu andaikan dicicipi olehnya.

Samar-samar nada lirih pria itu tertangkap indera pendengarannya. Perlahan kelopak mata perempuan tersebut terbuka. Pupil mata menyesuaikan cahaya yang masuk. Mata indahnya mengerjap perlahan. Terbingkailah seraut wajah dengan ekspresi yang memuakkan di mata dokter muda tersebut.

"Siapa Kau? Untuk apa Kau membawaku ke tempat ini?" tanya Helsa menyorot tajam pria itu.

"Tanyakan saja pada kakak tersayangmu itu. Kenapa dia selalu membuat masalah pada atasanku? Hahaha," ucap pria itu sambil tertawa merendahkan.

"Lepaskan aku!" Helsa meronta.

"Tidak usah teriak manis. Percuma saja tak akan ada seorang pun yang akan menolongmu. Tak ada yang mendengar teriakanmu," bisiknya di dekat daun telinga Helsa dengan senyum evil. Tangan kanan pria itu sedikit meraba pipi Helsa sebelah kiri.

Helsa yang sadar dengan tatapan merendahkan pria itu membuatnya peka dalam sekejap. Logikanya menangkap sinyal tanda bahaya yang terlihat dari sorot netra pria di depannya itu. Sekelebat bayangan memori tentang curhatan Sekar lima tahun silam mengenai peristiwa kelam yang dialami gadis bermata hujan itu terbias jelas dalam ingatan. Rasa takut menyergap melemahkan seluruh urat. Dalam diam dia menyimpulkan bahwa kejadian yang dialami Sekar kurang lebih hampir mirip dengan situasi yang dialaminya kini.

PENJAGA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang