PRIA MISTERIUS

340 44 3
                                    



Pagi hari yang begitu cerah, burung-burung gereja bersenandung riang. Sambut hari dengan ceria. Dengan bersemangat dokter Helsa Maharani melakukan rutinitasnya di klinik seperti biasanya. Walaupun beberapa hari sebelumnya mendung pekat menghitam berarak menaunginya. Namun semua itu tak berlangsung lama. Sebagai wanita yang cerdas, ia selalu tahu cara menyikapi semua permasalahan dalam hidup harus sesuai realita. Meski persoalan hati bukan hal yang mudah untuk dihadapi, tapi ia punya cara tersendiri untuk menyikapi. Sejak dulu ia memang tak seberuntung sahabatnya dalam hal percintaan. Dia tipe orang yang sulit untuk jatuh cinta dan sekali merasakan itu mampu membuatnya tak mudah lupa. Pernah sekali ia dikagumi seorang seniornya semasa kuliah dulu, namun pria yang mengagumi itu tipe play boy. Entah bagaimana awalnya, ia akhirnya berkenalan dengan seniornya itu kemudian bersahabat. Pria yang mengejarnya itu dengan gigih mengungkapkan perasaannya dengan berbagai cara. Hingga ia pun luluh, akan tetapi hubungan mereka tidak bertahan lama sebab pria yang menyukainya itu berbuat curang di belakang dengan sahabatnya. Entah bagaimana perasaannya ketika memergoki kekasihnya selingkuh, yang pasti ia segera mengakhiri hubungan itu. Mungkin ia sakit hati kala itu, namun tidak begitu terasa karena memang tidak begitu mencintai seniornya. Jadi tidak sulit untuk melupakan pria itu. Justru baginya lebih menyakitkan ketika benar-benar merasakan cinta dalam diam pada sosok tertutup seperti Firman.

Ia baru tiba di ruangannnya sambil menenteng tas dan blazernya, seseorang dari arah belakangnya memanggil namanya saat baru meraih handle pintu untuk masuk ke ruang kerjanya.

"Dokter Helsa."

Helsa pun menoleh ke arah orang yang memanggilnya.

"Iya, Sus."

"Saya hanya ingin menyampaikan pesan dokter Yudi, bahwa hari ini Dokter diminta membantu memeriksa kondisi pasien rawat inap di ruang Melati nomer 101 sampai 107 karena hari ini dokter Yudi ada tugas mendadak dari pihak manajemen dengan beberapa dokter senior yang lain."

"Iya, Sus. Akan saya kerjakan, tapi saya taruh ini dulu di ruangan."

"Baik, Dok. Saya permisi dulu."

Setelah suster itu pamit dan berlalu pergi, ia langsung menuju ruangannya meletakkan barang yang dimaksud tadi. Kemudian keluar dari ruangan menuju ruang Melati nomer 101 sampai 107 untuk mengecek kondisi pasien di sana. Tugasnya di ruang Melati pun usai. Ketika baru saja keluar dari ruang Melati 107, ia berpapasan dengan Tasya.

"Sudah lebih baik?" tanya Tasya menatap lurus ke arah sahabatnya.

"Apanya?"

"Keadanmu?" tanya Tasya lagi.

"Emang kenapa dengan aku?" Helsa tampak bingung dengan pertanyaan yang dilontarkan sahabatnya.

Tasya menghela napas kasar saat Helsa telat memahami maksud ucapannya.

"Kenapa sih, Sya?"

"Sini deh! Sambil jalan aja ngobrolnya," ajak Tasya agar mengikuti langkahnya.

"Kamu tuh kalau ngomong jangan setengah-setengah. Aku, kan nggak ngerti maksudnya apa?" gerutu Helsa.

"Maksudku, setelah pertemuanmu dengan Firman waktu itu?"

"Oh itu. Aku udah nggak apa-apa kok," kilahnya agar Tasya tak lagi mengintrogasi tentang perasaannya lebih lanjut.

Ia hanya tak ingin sahabatnya itu khawatir. Selain itu, ia memang sengaja berkelit untuk menghindar dari pertanyaan sahabatnya tersebut. Jika dibilang kacau memang benar begitulah keadaan hatinya. Usai pertemuannya dengan Firman sore itu suasana hatinya tidak karuan. Selain menahan sakit karena cinta tak berbalas, ia harus mengubur dalam-dalam perasaannya secara paksa. Ternyata lebih menyakitkan memendam perasaan daripada ditolak secara terang-terangan. Andai boleh jujur ia sedang tidak ingin membahas masalah tersebut untuk saat ini.

PENJAGA HATITempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang