1. Bukan Sekadar Kehidupan Sekolah

7.7K 225 11
                                    

"Tet! Tet! Tet!"

Keriuhan di kelas seketika pecah ketika terdengar suara bel tanda bahwa pelajaran terakhir selesai telah berbunyi.

Di depan kelas, Bu Wati segera membereskan perlengkapannya di atas meja dan berkata.

"Ingat, tugas ini langsung dikumpulkan besok siang di meja saya. Jangan ada yang terlambat. Peraturan selalu berlaku. Terlambat berarti pengurangan point. Kalian nggak mau kan nilai kecil kalian semakin mengenaskan dengan pengurangan point?"

"Yaaaa!"

"Minggu depan, Bu!"

"Ini bukan kerja rodi, Bu. Masa cuma semalam."

"Tugas yang lain juga banyak, Bu."

Bu Wati geleng-geleng kepala. "Seharusnya memang minggu depan, seandainya ujian bulanan kalian bagus. Tapi, nyatanya kan nilai ujian bulanan kalian hancur semua. Persis kayak bangunan yang kena gempa, tsunami, dan putíng beliung secara bersamaan." Bu Wati tampak berpikir sebentar, teringat sesuatu. "Ah, untuk Eshika, pengecualian. Kamu boleh mengumpulkannya minggu depan."

Semua mata langsung menatap Eshika Veraria. Gadis cantik dengan rambut hitam yang tergerai menutupi sebagian punggungnya itu. Kulitnya terlihat bersih dan wajahnya tampak manis.

Eshika memang bukan siswi tercantik di sekolah. Tubuhnya tidak terlalu tinggi. Mungkin sekitar 157-159 sentimeter. Hidungnya tidak terlalu mancung, walau tidak tergolong pesek juga. Penampilannya pun terlihat biasa-biasa saja. Di saat gadis-gadis SMA seusianya mulai terobsesi dengan lipstik merah merona dan make up full color padahal hanya ke sekolah, ia tetap berdandan layaknya gadis biasa. Hanya sapuan bedak tipis dan liptint warna merah muda kesukaannya. Secara garis besar, bisa disimpulkan bahwa Eshika memang tidak terlihat seperti gadis SMA yang menggoda, tapi sayangnya semua orang mengenal dirinya. Setiap pembagian rapot, ia pasti akan maju ke lapangan sekolah. Menerima penghargaan sebagai juara umum sekolah.

Mendengar perkataan Bu Wati, Eshika sontak salah tingkah. Memang sih. Ujian seminggu yang lalu itu hanya dirinya yang berhasil mendapatkan nilai di atas 80. Tapi .... Eshika menggigit bibirnya.

Ibu nggak perlu gini juga kali. Berasa nggak enak aku sama anak-anak yang lain.

Meneguk ludahnya, Eshika berusaha untuk berperilaku sopan pada Bu Wati. Ia tersenyum –walau kaku-, mengangguk, dan berkata.

"Te-terima kasih, Bu. Tapi, saya tetap akan mengumpulkan tugasnya besok."

Seketika saja jari telunjuk Bu Wati naik dan menunjuk ke seisi kelas. "Lihat! Kalian itu memang beda dengan Eshika."

Eshika memejamkan matanya.

"Kalian semua mengeluh karena tugasnya dikumpulkan besok," lanjut Bu Wati. "Tapi, Eshika justru dengan senang hati akan mengumpulkannya besok." Beliau tampak geleng-geleng kepala. "Yaaah ..., kualitas otak sepertinya memang sangat membedakan perilaku siswa ya. Saya juga nggak heran."

Dalam hati, Eshika mengutuk dirinya sendiri.

Siswa-siswi di kelas tampak riuh setelah Bu Wati mengatakan hal itu. Sehingga Bu Wati perlu mengangkat kedua tangannya demi menyuruh seisi kelas untuk diam.

"Nggak perlu pembelaan diri lagi. Kelas sampai di sini. Kita berjumpa Minggu depan," kata Bu Wati menutup kelasnya. "Bye."

"Bye!"

Bu Wati memantapkan posisi beberapa buku di tangannya. Lalu, melenggok ke luar dari kelas. Meninggalkan keriuhan para siswa yang akan pulang.

Eshika menghela napas panjang. Bertepatan dengan satu tangan yang mendarat di punggungnya. Menepuk-nepuknya dengan pelan. Seolah ingin menenangkan perasaan sahabatnya itu.

Sekolah Tapi Menikah "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang