24. Kekhawatiran

1.2K 81 3
                                    

Menjaga raut mukanya untuk tetap datar atau paling tidak menahan desakan untuk tersenyum geli adalah hal yang paling sulit untuk dilakukan oleh Tama saat ini. Saking susahnya, wajah cowok itu justru lebih terlihat seperti orang yang tengah meringis. Seolah-olah ia sedang menahan sesuatu. Dan di mata Eshika, itu justru terlihat seperti orang yang menahan kesakitan.

"Tuh kan, Tam! Kamu kesakitan lagi ya?"

Tama menarik napas dalam-dalam, mengembuskannya lewat mulut. Menggeleng pelan. Kedua tangannya naik ke atas, memegang tangan Eshika. Berkata dengan pelan.

"Esh. Aku emang sakit. Tapi, nggak parah."

Eshika menengadahkan wajahnya. Menatap Tama yang tengah menunduk padanya.

"Ta-tapi...."

"Beneran. Aku cuma diare aja." Bola mata Tama tampak berputar sekilas ketika berpikir. "Dan lemes mungkin gara-gara kehabisan tenaga."

"Yang bener, Tam?" tanya Eshika meyakinkan. "Aku khawatir loh kalau kamu bener-bener parah sakitnya."

Tama mengangguk. "Beneran. Kalau emang parah, ya pasti aku maulah ke rumah sakit sekarang buat berobat. Masa aku mau mati muda."

Eshika menatap Tama, tapi sejurus kemudian ia tak mengatakan apa pun. Hingga kemudian Tama menarik napas dalam-dalam.

"Tapi, kalau kita berdiri lebih lama lagi kayak gini," lanjut Tama. "Mungkin aku beneran bakalan ke rumah sakit karena pingsan."

Mata Eshika melotot.

"Soalnya kaki aku pegal."

Dengan buru-buru Eshika membantu Tama untuk duduk. Sedang gadis itu kemudian duduk di hadapan Tama.

"Beneran kita nggak perlu ke rumah sakit?"

Tama menggeleng. "Daripada itu, Esh. Ngomong-ngomong, aku sekarang lapar. Kayaknya ini udah jam makan malam deh."

"Ah!" Eshika mengangguk. "Bentar ya. Aku siapkan dulu. Sup makaroni telur puyuh kamu udah aku masakin."

"Oke ...."

Lantas, Tama hanya bertopang dagu pada satu tangannya ketika ia memerhatikan Eshika yang dengan luwesnya menyiapkan sup untuk dirinya. Tak butuh waktu lama bagi Tama menunggu, sejurus kemudian semangkuk sup makaroni telur puyuh dengan asap yang masih mengepul dan taburan bawang goreng di atasnya itu tersaji di hadapan Tama. Begitu pula dengan sepiring nasi hangat.

Tama menghirup dalam-dalam aroma sup itu. Dan gemuruh perutnya semakin menjadi-jadi.

Tapi, ketika Tama meraih sendok dan garpunya, ia mengangkat wajahnya. Menatap Eshika yang saat itu tengah menatap dirinya.

Matanya mengerjap.

"Kamu .... Kamu nggak makan juga?"

Eshika tergugu. Pipinya sedikit merona ketika menyadari fakta bahwa dari tadi ia mengamati Tama.

Ia menggeleng.

"Kamu makan aja dulu," katanya. "Ntar aku bisa makannya."

Tama menarik tubuhnya. Hampir bersandar pada punggung kursi yang ia duduki. Mengerutkan dahi, ia bertanya.

"Memangnya kenapa ntar? Sekarang aja makannya."

"Ntar kalau kamu mendadak mau apa-apa kan repot kalau aku lagi makan."

Tama sedikit mencebik pada gadis itu. "Nggak. Lagian kayaknya aku juga nggak ada tanda-tanda mau apa-apa sekarang." Ia melirik ke rak piring. "Ayoh! Makan bareng sini. Males juga aku makan diliatin. Berasa risih."

Sejenak, Eshika terdiam. Memikirkan perkataan Tama dan membenarkannya. Pada akhirnya, Eshika pun berdiri. Beranjak meraih piring dan mengambil nasinya. Diam-diam membuat Tama tersenyum di tempat duduknya.

Sekolah Tapi Menikah "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang