64. Bertukar Hadiah

891 71 5
                                    

"Praaanggg!!!"

Tangan Tama yang memegang piring dan spons terasa mendadak kehilangan tenaganya. Sontak menjatuhkan kedua benda itu bersamaan. Menimbulkan bunyi yang cukup untuk menyadarkan Tama dari lamunan sekejap matanya.

Sejenak ia masih tidak yakin dengan apa yang terjadi. Pikiran seperti hilang dari dalam kepala Tama. Semua terasa bagai terombang-ambing. Tama bahkan tidak yakin bahwa ia masih menginjak Bumi.

Ini pasti kenyataan.

Soalnya bunyi piringnya kedengaran jelas banget.

Tama kembali mencoba meyakinkan pemikirannya.

Ini nggak mungkin mimpi.

Masa mimpi sambil nyuci piring?

Kan nggak seksi sama sekali.

Glek.

Tama meneguk ludahnya yang terasa menggumpal di pangkal tenggorokannya. Seolah sedang menyumbat di dalam sana.

Terbengong dia mencoba melihat Eshika. Gadis itu terlihat menggigit bibir bawahnya dan tampak salah tingkah. Gugup.

Mata Tama mengerjap-ngerjap.

"Esh ...."

Parah sekali, Tuhan. Tama pikir ia bisa menyebut nama gadis itu dengan lancar seperti biasanya. Namun, alih-alih mampu menyebut nama Eshika, Tama justru mendapati suaranya terdengar seperti cicit tikus yang kejepit bokοng kucing.

Cit ... cit ....

Eshika tampak gelisah. Bola matanya berpindah-pindah dengan tak fokus, hingga kemudian ia tampak memberanikan diri melihat Tama dan berkata dengan lirih.

"A-a-aku mau cium kening kamu, Tam." Ia meneguk ludah. "Ka-kayak kamu yang biasa cium aku."

Tama berusaha untuk tetap menahan diri mendengar perkataan Eshika. Tapi, itu sulit mengingat rona di pipi Eshika membuat gadis itu terlihat menggemaskan di mata Tama.

"Ta- tapi ...."

Tama memerintahkan lidahnya untuk bisa bergerak. "Tapi?" tanyanya terbata.

"Tapi, aku kependekan. Jadi, nggak sampe buat cium kening kamu."

Mata Tama mengerjap-ngerjap lagi.

Kening atau pipi nggak jadi masalah kok, Esh.

Dua-duanya juga boleh kok.

Beneran deh.

"Jadi," lanjut Tama dengan susah payah. "Kamu mau cium kening aku?"

Eshika terdiam beberapa saat.

Melihat Eshika yang diam, Tama segera menekuk lututnya dengan sepenuh hati seraya berkata.

"Nih ... biar ka---"

Tapi, Eshika memotong ucapan Tama.

"Ma-maaf, Tam, kalau kamu nggak suka. Aku mau mandi dulu."

Eshika berlari meninggalkan Tama menuju ke kamarnya. Meninggalkan cowok itu yang seketika saja melongo.

"Ngapain minta maaf, Esh?!" jerit Tama frustrasi. "Kalau kamu minta lagi sih ya nggak apa-apa, tapi jangan minta maaf."

Ugh!

Tama mendadak saja ingin mengejar Eshika dan lantas memeluk gadis itu. Ingin berkata: Kalau kamu kurang tinggi, nggak apa-apa. Kamu bisa kok cium pipi aku aja seterusnya. Atau kalau pipi masih ketinggian, ada bibir aku kok yang agak rendahan.

Tama menggeram manja di depan wastafel.

"Andaikan tangan aku nggak lagi penuh busa kayak gini," katanya frustrasi walau dengan geli, "udah aku terkam juga kamu, Esh."

Sekolah Tapi Menikah "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang