41. Pembicaraan Ringan

1.2K 78 2
                                    

"Mungkin karena itu ya kenapa banyak yang ngomong kalau setelah nikah suami istri harus tinggal misah dari orang tua."

Eshika tidak ingin ketawa sih, tapi entah kenapa dia justru memang tertawa mendengar perkataan Tama. Seraya berusaha menahan tawanya, ia menoleh. Mengamati Tama yang tengah mengemudi seraya cengar-cengir.

Saat ini, seperti yang mereka berdua sepakati bersama, mereka tengah dalam perjalanan pulang. Bukan karena menghindari interogasi Mawar yang lagi-lagi memergoki mereka, tapi kan mereka memang niatnya mau pulang pagi. Mau beres-beres unit dan sebagainya. Tapi, ya tetap saja. Ketika mereka pamit tadi, Mawar dengan blak-blakan berkata bahwa itu mereka lakukan karena ingin menghindari interogasi dirinya.

Dan menghadapi itu membuat baik Tama maupun Eshika geleng-geleng kepala. Bagaimanapun juga, situasi pagi tadi memang terlalu susah untuk dijelaskan dengan kata-kata. Tapi ..., sebenarnya mereka ingin menjelaskan apa? Toh nyatanya mereka memang tidur bareng kok ya.

Tapi, mereka berdua berpegang pada pembelaan yang sama.

Nggak sengaja aja tidur bareng karena udah ngantuk. Dan emang apa salahnya? Kan kami udah nikah. Kelupaan pindah kamar juga nggak bakal jadi masalah besar.

Walau sebenarnya, seluruh dunia juga tau. Tama malam itu jelas-jelas masih sadar untuk memilih tidur bersama Eshika. Karena mungkin untuk pertama kalinya ia menyadari, bahwa ia merasa senang melihat gadis itu tertidur di pelukannya.

"Kamu pernah dengar orang ngomong gitu?"

Bibir Tama melengkung ke bawah. "Ehem ... pernah dengar gitu." Ia menoleh. Melirik Eshika yang tersenyum geli. "Emangnya kamu nggak pernah denger?"

"Ehm ...." Eshika tampak berpikir sejenak. "Kayaknya pernah denger juga sih. Hahahaha." Ia kembali tertawa.

"Masalahnya sih bukan apa," lanjut Tama tampak menyandarkan punggungnya. "Aku justru ngerasa Mama sekarang agak gimana gitu sama kita. Yang berasa kita kayak ...." Tama menggantung ucapannya. Bingung menemukan kata-kata yang tepat untuk mengungkapkan isi pikirannya.

"Yang ngeliat kita kayak yang udah think about adult thing." Eshika manggut-manggut. "A marriage life."

"Padahal nggak kayak gitu kan?" tanya Tama.

Eshika terdiam sejenak.

"Maksud aku, kita sekarang justru baru berusaha buat enjoying situasi ini kan? Beradaptasi nggak mudah bagi aku."

Eshika mengangguk. "Ten-tentu aja. Lagipula, bisa hidup damai dan kayak gini sama kamu aja sebenarnya melebihi ekspektasi aku sebelumnya."

"Sama. Aku juga."

"Ehm ... waktu Mama ngomong soal pernikahan kita dulu," kata Eshika kemudian. "Apa yang kamu pikirkan, Tam?"

"Ehm?"

Tama menoleh. Melihat sorot mata Eshika yang terlihat sedikit berubah. Membuat Tama justru bertanya-tanya. Tapi, ia malah menarik napas panjang.

"Jujur aja aku syok, Esh," jawab Tama. "Aku pikir Mama sama Papa lagi becanda saat itu. Tapi, gimana pun juga ulang tahun aku udah lewat kalau mau dikerjai. Dan beneran aja. Ternyata mereka nggak main-main. Aku berasa kayak dunia aku lagi berputar-putar jungkir balik. Aku bahkan sempat mikir apa itu mimpi. Aku nyaris nggak bisa membedakan mana yang nyata mana yang mimpi."

"Mama ngasih tau kamu hari Jum'at ya? Sehari sebelum kita nikah?"

Tama menoleh lagi. "Kamu tau?"

Eshika mengangguk.

"Ya emang gitu sih. Jum'at pagi aku baru dikasih tau kalau malam Minggu kita bakal nikah." Tama geleng-geleng kepala. "Emang beneran deh orang tua aku. Untuk hal sepenting itu malah dikasih tau dadakan."

Sekolah Tapi Menikah "FIN"Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang